“ Ini adalah mushaf Al-Qur’an Isyarat pertama 30 juz yang ada di dunia, setelah kita melakukan semacam kajdan,” lanjutnya.
Abdul Aziz Sidqi menambahkan, mushaf Al-Qur’an Isyarat memuat tidak hanya teks Al-Qur’an semata, tetapi juga akan memuat font isyaratnya.
“ Mushaf Al-Qur’an Isyarat diperkirakan memiliki halaman lebih tebal dari mushaf pada umumnya,” tambahnya.
Mushaf Al-Qur'an Isyarat dicetak dalam dua jilid dengan terbiatan pertama akan dicetak bih 1.000 hingga 2.000 eksemplar.
Jilid pertama mencakup Juz 1-15, sedangkan untuk jilid kedua mencakup Juz 16-30.
“ Kurang lebih sekitar, 1.000-2.000 eksemplar. Jadi, karena ini tidak sama seperti Al-Qur’an biasa, kita buat 2 jilid karena, kalau (juz 1-30) 1 jilid, ini akan tebal sekali,” katanya.
Dalam penyusunan mushaf Al-Qur'an Isyarat terdapat dia metode yang digunakan yakni menggunakan metode kitabah dan metode tilawah.
“ Pihaknya bersinergi dengan para ahli, teman disabilitas tuli, dan berbagai organisasi terkait dałam proses penyusunannya,” kata Aziz.
Abdul Aziz Sidqi menjelaskan bahwa perumusan kesepakatan kesepakatan mengenai huruf, harakat, dan tanda baca secara bersama-sama.
Setelah itu, tim yang sama menyusunnya dengan melibatkan semua stakeholder yang terlibat
“ Setelah kita cek satu persatu, kita susun ayatnya mulai dari Al-Fatihah, sampai An-Nas, kita cek dan baca satu persatu, hurufnya harakatnya, karena ini Al-Quran tidak boleh ada yang kurang atau kelebihan huruf maupun harakat. Kami mematikan bahwa nanti Al-Qur’an yang kami cetak sudah sahih, tidak ada lagi kesalahan. Tidak ada lagi kesalahan,” imbuhnya.
Proses penyusunan mushaf Al-Qur'an Isyarat, kata Abdul Aziz Sidqi dimulai 2012 dengan diawali menyusun panduan membaca Al-Qur'an bahasa isyarat.
Setelah peluncuran Juz 'Amma bahasa isyarat pada 2022, pihaknya kemudian melanjutkan penyusunan seluruh 30 juz Al-Qur'an dalam bahasa isyarat.
Mushaf Al-Qur’an Isyarat ini merupakan wujud perhatian penuh pemerintah dalam hal ini Kemenag melalui LPMQ terhadap layanan keagamaan, khususnya terkait Al-Qur'an.
Upaya ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menegaskan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan layanan kitab suci dan lektur keagamaan yang mudah diakses.
Abdul Aziz Sidqi menjelaskan, ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di mana disebutkan dalam Pasal 14 di huruf C itu jelas dikatakan bahwa penyandang disabilitas juga berhak mendapat layanan kitab suci dan juga lektur keagamaan yang mudah diakses.