Awalnya kebanyakan menjadi penjaga warung kelontong milik orang pulau poteran.
Seiring waktu, setelah mereka mengenal medan, paham tata kelola toko kelontong, punya keterampilan menggaet pelanggan mulailah mereka yang awalnya "ngenek" menjadi mandiri yang mampu membuka warung kelontong dengan modal sendiri.
Arus perantau di kecamatan daratan mengalami lonjakam tinggi bukan semata karena daya tarik kesuksesan perantau sebelumnya tapi juga dipicu oleh faktor ekonomi-politik, terutama hancurnya pertanian tembakau di akhir dekade 90-an, yang sebelumnya pernah menjadi penyangga penting bagi perekonomian warga Sumenep.
BACA JUGA:Parah! Pegawai Minimarket Dikeroyok Preman di Karawang Diduga Gara-gara Ogah Ngasih Rokok Dua Kali
"Perputaraan bisnis tembakau yang triliunan tiap tahun telah membuka peluang kerja bagi banyak orang, termasuk efek domino bisnis ini bagi banyak orang yang berhubungan langsung dengan bisnis tembakau atau tidak, sejak dari sawah hingga warung makan dan jajanan, pasar, toko pakaian, dll memperoleh "berkah" dari perputaran bisnis tembakau ini," katanya.
Akhir dekade 90-an, puncaknya era reformasi, pertanian tembakau hancur.
Harga anjlok.
Bahkan ketika harga murah, banyak tembakau yang dibiarkan di sawah tidak dipanen, karena biaya panen tak sebanding dengan harga tembakau ketika dijual.
Paska reformasi harga makin anjlok.
Tak ada support kebijakam baik dari pemerintah pusat hingga daerah. Petani tembakau dibiarkan penyok bertarung sendiri dengan perusahaan rokok besar, baik nasional maupun asing yang seenak menentukan dan memainkan harga.
"Nah, sejak itulah arus perantau di Sumenep ke Jakarta menemukan momentumnya. Di tanah rantau, sebagaimama menjadi karakter orang Madura, mereka sangat gigih. Jualan mereka meluber hingga emper warung yang tak mungkin tiap tutup-buka harus dimasukkan dan esoknya dikeluarkan kembali. Itu juga yang mengharuskan mereka buka 24 jam, menemani apotik dan (menyaingi) minimarket yang sebagian buka 24 jam juga," ucapnya.