Antre Bonek

Minggu 19-05-2024,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

Kalau harus antre mulai jam 05.00 berarti harus bangun pukul 03.00. Itu Erick bin Lia. Atau bin James F Sundah. Rumahnya jauh dari rumah orang tuanya. Kalau siang bisa satu jam.

Erick harus jemput saya dulu. Jam 04.00 berangkat dari rumah James. Jaraknya satu jam juga ke pengadilan, tempat Presiden Donald Trump disidangkan. Kalau siang.

Sebenarnya James punya rumah satu lagi di New York. Piano dan alat-alat musik di rumah satunya itu. Rumah yang di Queens ini lebih sebagai studio. Juga dekat dengan kantor istrinya.

Saya tidak mau Erick bangun jam 03.00. Saya tahu kebiasaan jam berapa orang Amerika bangun. Tidak terikat harus subuhan.

Erick tidak perlu jemput saya. Saya pilih naik Uber saja. Saya ingat naik Uber atau Grab itu sangat murah. Bertemu di tempat antrean saja. Ia tahu di mana harus antre. Saya diberitahu lokasinya ketika ke pengadilan itu kemarin.

Saya tidak akan lupa lokasinya. Di sebelah taman itu. Di seberang pengadilan. Dekat jejeran mobil-mobil TV.

Sejak Trump disidangkan untuk perkara kriminal uang tutup mulut ke wanita esek-esek, mobil-mobil TV itu seperti parkir permanen di situ. Lengkap dengan antene-antene siaran langsungnya.

Saya hitung jumlahnya: delapan mobil. Kalau pun besok berkurang satu masih mencolok sebagai penanda.

Saya tetap bangun jam 03.00: cari komentar pilihan. Masih jam 3 sore di Jakarta. Sebenarnya masih terlalu dini dari kebiasaan. Minta maaf pada komentator rebahan yang kirim komentar setelah jam itu. Saya pasti melewatkannya hari itu.

Saya juga harus menulis naskah untuk Disway. Juga terlalu dini dari jadwal biasanya. Tapi apa boleh buat. Terlalu telat kalau menunggu selesainya sidang. Bisa saja saya tulis sambil antre. Tapi siapa tahu antrean pendek.

Saya begitu disiplin menjaga deadline Disway. Di mana pun saya berada. Pun di balik dunia ini, yang sore di Jakarta subuh di Amerika. Agar setiap jam 04.00 WIB Disway bisa terbit. Maka ketika membaca ada komentar hari itu jam 04.00 belum terbit saya nyaris jadi Prof Pry.

Beres. Jam 04.00 Lia sudah bangun. Saya minta maaf membuat tidurnyi lebih pendek. Dia harus membantu saya membukakan pintu luar apartemen. Lia jadi Bu RT di Queens. Biasa terima pengaduan warga jam berapa saja.

Lia juga yang memesankan Uber sore kemarin. Uber datang tepat waktu: 04.00. Sejenis Alphard. Sopirnya Tionghoa. Saya pun bernihao dengannya. Saya jadi tahu asalnya dari mana di Tiongkok sana. Bagaimana ia menjemput istri dan anak untuk ikut tinggal di Amerika.

Perjalanan Queens - Manhattan lancar. Setengah jam lagi tidak akan seperti itu --yang biasa komuter Depok-Jakarta akan bisa memahaminya.

"Tujuan Anda pengadilan?" kata Si Nihao terheran-heran sambil kembali melihat alamat di pesanan.

"Dui le," jawab saya. Entah bagaimana kok keyboard HP saya ini berubah: tidak bisa menulis huruf kanji.

Jam 04.45 saya sudah di antrean. Saya hitung sudah ada berapa orang di depan saya: 40 orang. 

Perusuh Mirwan Mirza pasti tidak bisa mengoreksi berapa jumlah tepatnya. Saya juga tidak sungguh-sungguh menghitungnya. Ini bukan naskah seminar.

Erick belum tiba. Saya tidak ngecek ia sudah sampai di mana. Ia mengemudikan mobil sendiri. Ia harus cari tempat parkir. "Parkir di dekat pengadilan imigrasi saja," pesan Lia kemarin. Lalu memberi petunjuk arah-arah masuk ke gedung parkir itu. 

Sebenarnya Erick sudah sering parkir di situ --mengantar ibunya sebagai pengacara masalah-masalah imigrasi. Erick juga sudah sering ke situ sendirian. Yakni ketika membantu ibunya di urusan administrasi pengadilan. Tapi Erick tetap mendengarkan pesan ibunya dengan baik. Ia tidak pernah memotong, misalnya, dengan kalimat "saya sudah tahu".

Yang datang untuk antre terus bertambah. Sebelum jam lima pagi sudah 40 orang lagi di belakang saya. Udara dingin. Ini sudah menjelang musim panas. Kok masih dingin. Padahal kemarinnya agak hangat.

Saya kedinginan di antrean. Apalagi selalu ada angin yang bertiup. Dingin. Dingin. Dingin. Dingin sampai hati. 

Saya bukan orang Amerika. Belum terbiasa membaca ramalan cuaca sebelum meninggalkan rumah.

Erick tiba tepat jam 05.00. Langsung gabung ke saya. Yang antre di belakang saya seperti kurang rela. Tapi sangat sopan. Orang Amerika umumnya sangat sopan. Melebihi orang Jawa zaman ini.

"Ia bersama Anda?" tanya wanita lebih setengah baya di belakang saya.

"Iya," kata saya, "ia tadi cari tempat parkir".

Lalu kami ngobrol lagi. Juga dengan wanita di depan saya. Mereka antre sambil ngobrol. Ada yang datang dengan suami. Atau teman. Hanya sedikit yang tidak mau ngobrol. Orang Amerika juga suka ngobrol.

Semua tahu: jam 08.00 baru bisa masuk pengadilan --kalau masih ada tempat. 

Berarti akan tiga jam lebih di antrean.

Saya sudah pup sebelum mandi tadi. Tapi saya tahu akan punya persoalan berat: buang air kecil.

Apalagi di kedinginan seperti ini. Pasti. Apalagi saya minum air putih banyak setiap pagi: setengah liter ketika bangun. Terbiasa. Lalu menelan obat pertama. Minum lagi. Setelah milih komentar, menelan obat kedua. Minum lagi. Total 1 liter. Dua jam setelah itu pasti harus ada exitnya. Pada jam itu  antrean tidak bisa ditinggalkan.

Tapi saya kan membawa minuman satu botol. Untuk diminum dua jam kemudian. Setelah kosong botol itu bisa jadi toilet kecil. Dalam hal ini wartawan seperti tentara: apa saja bisa. Saya tinggal sedikit menyingkir ke balik pohon. 

Botol diselipkan di balik jas. Botol segera penuh kembali. Hanya berubah warnanya. Teknologi tisu basah harus diapresiasi.

Di Amerika tong sampah di mana-mana. Tong terdekat itulah terminal akhir botol cairan kuning muda itu.

Saya sudah sering jadi terminal akhir botol seperti itu. Dulu sekali. Di stadion. Dilemparkan dari tribun. Terutama kalau Persebaya kalah.

Kini Persebaya tetap kalahan. Justru saya yang ganti melemparkan botol seperti itu. 

Imajinasi saya: ada Bonek mbeling di dalam tong itu. Bukan Trump.(Dahlan Iskan)



Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan 18 Mei 2024: Untung Siksa

Amat K
Pertama kali atau kali pertama? Mungkin orang seberang laut sana biasa menyebut "first time", adalah bentuk frasa. Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya nonpredikat (nonpredikatif). Artinya, tidak berkaitan dengan predikat, tidak ada predikat di dalamnya, tidak mengandung predikat. Ini berbeda dengan klausa. Klausa, punya predikat, minimal punya subjek dan predikat, berpotensi menjadi kalimat. Oh ya, frasa ini berbeda lagi dengan kata majemuk (kompositum). Anak Pak Iskan (frasa) Anak Pak Iskan itu pergi (klausa) Anak Pak Iskan itu = subjek Pergi = predikat Anak Pak Iskan itu pergi ke Amerika. (Kalimat) Mohon maaf, saya sengaja mau muter-muter dulu, biar pusing. Keberadaan frasa dalam kalimat tidak melebihi satu batas fungsi. Meski terdiri dari dua kata atau lebih, Ia hanya bisa menduduki satu fungsi tertentu: subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan. Tempo hari saya pernah menulis frasa ini juga. Yang ada rumusnya, D-M M-D. Yang dicetuskan Sutan Takdir Alisjahbana itu. Frasa punya unsur utama (inti) dan unsur pewatas (keterangan). Singkatnya, D adalah diterangkan, M adalah menerangkan. Biasanya, lazimnya, frasa bahasa Indonesia berpola D-M. Namun, ada pengecualiannya, termasuk frasa numeral (frasa bilangan) ini. Seekor "burung" Dua ekor "burung" Tiga ekor "burung" "Pertama kali" juga termasuk frasa numeral. Pertama (M) kali (D). Pertama "kali" Kedua "kali" Ketiga "kali" 

Amat K.
Bagaimana dengan kali pertama? 

Kali pertama

Kali kedua

Kali ketiga

Disandingkan dengan frasa "burung" tadi:

Burung seekor

Burung dua ekor

Burung tiga ekor

Agak laen.

Bentuk yang lazim dan sering digunakan adalah seekor burung dst.

Mungkin pertama kali kali pertama ditemui dalam ragam fiksi, tulisan sastra. Sebab bahasa sastra lebih longgar, ada banyak variasi dalam penulisan kata dengan tujuan tertentu.

M.Zainal Arifin

UNTUNG ADA YG MAU MENYIKSA?

Kalau tak ada yg mau nyiksa, gimana bisa untung?

Siksalah aku, agar aku untung. 

Selamat datang para penyiksa, pemerkosa, penindasan, penjajah?

M.Zainal Arifin

Main catur=:main politik= main kuasa=main bunuh raja= main sadis?

Raja di catur perlu diganti presiden, lakon nya?

djokoLodang

SENAM DANSA

Seorang warga berusia 71 tahun periksa rutin bulanan. Kali ini pemeriksaan menyeluruh. "Full-body check". Pakai BPJS. Barangkali.

Dokter pemeriksa sangat terkesan. Semua baik.

Dokter:"Hebat. Apa rahasianya sehingga Anda tetap sehat?"

"Hampir tiap hari saya senam pagi. Minum air 2 liter sehari. Sebelum ke sini tadi  juga masih sempat senam pagi. Barangkali itu rahasianya."

Dokter:"Wah, itu bukan hal yang luar biasa. Pasti ada faktor lain. Mungkin Anda punya gen sehat. Berapa usia ayah Anda ketika beliau wafat?"

"Wafat? Siapa bilang beliau sudah tiada?"

"Anda 71 tahun dan ayah masih ada? Berapa usianya sekarang?"

"Beliau 97 tahun. Kemarin senam di Bikasoga. Ngalahin anak-anak muda. Semangatnya ..."

"Benar dugaan saya tadi. Anda dari gen keluarga sehat dan berumur panjang. Tadi pagi ayah Anda juga ikut senam?"

"Tidak. Hari ini beliau sibuk."

"Sibuk apa?"

"Mengurus segala sesuatu. Syukuran anak yang baru lahir."

"Jadi Anda punya adik lagi?"

"Iya. Adik tiri. Ayah menikah lagi setahun yang lalu. Setelah ibu tiada."

Dokter:"Berapa usia istrinya?"

"Ibu tiri saya 27 tahun. Agak kikuk juga, ya. Panggil ibu seusia 27 tahun."

Dokter (setengah berteriak): "27 tahun...? Dan sudah punya bayi ...?"

"Boleh kah saya tahu? Yang Anda sebut senam itu senam apa tepatnya?"

"Mirip senam dansa nya Abah. Kalau dokter mau, besok ikut senam bersama saya."

Sore itu juga Dokter menutup praktik sesi-pagi. Saat suster tanya kenapa, dia bilang mulai besok mau senam dansa saja. Tiap pagi

-jL-

djokoLodang

--o--

... Berarti jam 04.00 harus berangkat. Trump telah menyiksa saya. Yang disiksa mau. ...

* Jadi ingat waktu saya masih main golf, dulu ...

Berangkat jam 04.00...Subuh di sana. ...

Mau juga disiksa ...

* Main di Emeralda ---dulu masih bernama Emerald One. Di kawasan Cibubur. 

Main 9 hole saja kalau bukan Sabtu-Minggu.

Mandi. Makan pagi. Terus berkendara menuju kantor di Jalan Merdeka Barat. Lalu-lintas masih lancar. Eh, sampai di kantor masih lebih gasik daripada teman-teman sejawat...

Leong Putu

Trump telah menyiksa saya. Yang disiksa mau. 

Istri telah menyita ATM saya, yang disita mau.

Mirip ya?

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

AKHIRNYA TERDAMPAR JADI "MARKONIS"..

Saat aktif di dunia tulis menulis waktu SMA, saya pernah berpikir untuk belajar STENO.

Tetapi begitu lulus SMA, saya malah terdampar jadi operator morse, yang kalau di kapal, istilahnya adalah MARKONIS.

Kalau steno, bisa untuk MENULIS CEPAT. Makanya cocok untuk WARTAWAN.

Kalau morse lebih untuk MENTRANSMISIKAN huruf dengan cepat.

Makanya cocok untuk jasa telegrafi.

Saya sempat menjalani profesi itu selama 8 tahun.

Termasuk pernah ditawari untuk kontrak bekerja buat PBB di Afrika selama 2 tahun, dan masa kerjanya tetap diakui di Telkom.

###

Tetapi akhirnya tidak jadi saya jalani.

Karena saya mementingkan kuliah..

Alhamdulillah, itu lebih bermanfaat..

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

MEWAWANCARAI PAK HARTO..

Saat kelas 3 SMP,  saya pernah mewawancarai pak Harto.

Wawancara eksklusif.

Di Yogya.

Saya mengajukan 15 pertanyaan.

Dan jawaban saya tulis cepat, dengan gaya saya.

Di akhir wawancara, pak Harto ngecek akurasi catatan saya.

"Coba bacakan jawaban dari dua pertanyaan pertama.

Saya pingin tau, catatannya akurat atau tidak.."

Ternyata, catatan saya, kata belio, sangat akurat.

Meski mencatatnya dengan cara biasa.

Bukan steno..

###

Hasil wawancara dimuat di sebuah majalah anak-anak.

Saya diberi honor oleh majalah itu Rp 300.

Dan "sangu" dari pak Harto Rp 3.000.

ALI FAUZI
Pak DIS hafal seluk pengadilan di Indonesia. Lebih tahu lagi beluknya. Frase seluk beluk ini mengingatkan saya pada frase tetek bengek. Yang diucapkan seorang hakim ketua pengadilan militer (dilmil). Saat itu, hakim ketua baru saja membacakan vonis hukuman bagi terdakwa --seorang parjurit berpangkat tamtama yang melakukan tindak pidana asusila. "Kamu yang dapat teteknya, kami yang dapat bengeknya," ketus hakim ketua kepada terdakwa yang duduk lesu. Sepertinya hakim ketua geretan banget dengan kelakukan si prajurit itu. Mendengar lontaran hakim ketua itu, pengunjung sidang tampak menahan tawa.

Lagarenze 1301
Agak laen membaca CHD hari ini yang menggunakan istilah "yuri". Mungkin karena sudah terbiasa membaca "juri". 

Menurut KBBI sih yang baku "juri". Kata serapan dari bahasa Inggris, "jury". Yang dalam pengucapan bahasa asalnya pun tidak memperdengarkan konsonan "j" sebagai "y". 

Kata "yuri" mengingatkan kepada yurisprudensi. Atau Yurike Sanger. Atau yuri yang penggemar anime pasti paham: genre yang agak laen. :)

Kategori :