Untung Siksa
Dahlan Iskan sebelum memasuki gedung peradilan di Amerika Serikat.--
Saya harus "main catur" di New York: melangkah ke arah apa yang akan terjadi tiga langkah di depan.
Maka hari pertama di New York, saya ke pengadilan. Mumpung hari itu tidak ada sidangnya Presiden Donald Trump. Lia Sundah mengatakan: jangan harap bisa masuk pengadilan keesokan harinya.
Tidak semua hari di sidang Trump selalu menarik minat pengunjung. Tapi keesokan harinya itu adalah puncak daya tariknya: si wanita esek-esek tidak sekadar menjadi saksi tapi dikonfrontasikan dengan kubu Trump.
Ini ibarat Rhoma sepanggung dengan Inul.
Maka saya setuju ke pengadilan justru sehari sebelum itu. Sekalian gladi resik untuk bisa lancar di kedatangan keesokan harinya.
Sebagai pengacara khusus keimigrasian di New York, Lia paham benar kawasan pengadilan itu. Pengadilan keimigrasian nyaris di seberangnya. Hanya dipisahkan oleh taman lapangan. Lia tentu sangat sering ke gedung itu.
Kawasan ini disebut 'kawasan pengadilan'. Kalau Anda berdiri di taman lapangan itu menghadap ke mana pun ada gedung pengadilan. Berbagai jenis pengadilan. Berbagai tingkat pengadilan.
Ternyata sebetulnya saya sudah beberapa kali ke lokasi ini. Tepatnya ke sebelah lokasi ini. Pun sebelum Disway banyak iklannya.
Kawasan hukum ini ternyata mepet dengan China Town. Kalau kangen masakan Asia biasanya saya ke China Town: banyak masakan Kanton yang enak. Banyak Pho' Vietnam. Juga Thai food.
Ini, kali pertama saya ke pengadilan di Amerika. Maka saya ingin tahu seluk beluknya. Seluknya pengadilan di Indonesia saya hafal. Apalagi beluknya.
Saya pernah jadi wartawan hukum saat masih bekerja di majalah TEMPO. Tapi sistem hukum Amerika kan berbeda. Pakai yuri. Saya ingin tahu seperti apa.
Kalau lagi ada sidang Trump tidak mungkin bisa belajar banyak: penuh sesak. Sepanjang hari. Belum tentu pula bisa dapat tempat.
Maka hari itu Lia ajak saya ke pengadilan. Dia pilih cari tempat parkir di China Town. Ini juga permainan catur: agar dari pengadilan nanti bisa makan siangnya di sekitar itu.
Dari China Town kami jalan kaki ke kawasan hukum. Melewati taman lain di belakang pengadilan. Tamannya masih sama: banyak kelompok orang yang lagi main cheki atau mahyong di situ. Tentu mereka adalah orang Tionghoa.
Gedung pengadilan itu 17 lantai. Atau 18. Perusuh teliti seperti Mirza Mirwan punya angka tepatnya. Itu bukan gedung sangat tinggi untuk ukuran New York. Juga bukan bangunan rendah seperti semua gedung pengadilan di Indonesia.
Tapi bagian bawah luar gedung ini terasa rusuh. Skafolding terpasang di sepanjang wajahnya. Menutup sepanjang trotoar di depannya. Pun menutup pintu masuknya.
Kami menyusuri lorong skafolding itu. Lalu masuk pintu besarnya. Bebas. Hanya ada detektor barang bawaan. Relatif sepi. Hanya dua orang di depan saya dan dua di belakang: Lia dan Erick, anaknyi. James Sundah, suami Lia tidak ikut.
Lia tahu: ruang sidang Trump di lantai 15. Ada dua deretan lift di gedung itu; di kanan sana dan di kiri sana. Sama saja. Tidak ada petugas jaga. Sepi. Pun di lantai 15.
Lia juga tahu di ruang mana Trump selalu disidangkan: ruang 59. Langsung ke ruang itu. Dorong pintu besar. Pintu kayu. Ada pintu besar lagi di dua meter setelah pintu pertama. Pintu hands itu untuk antisipasi musim dingin.
Ruang sidang senyap. Ada sidang tapi senyap. Sidang kriminal lain. Belum mulai.
Ruang sidang ini seperti ruang kebaktian di gereja Katolik. Langit-langitnya tinggi. Tempat duduk pengunjungnya bangku panjang. Berderet ke belakang. Delapan deret. Kanan dan kiri. Koridor di tengah. Tiap bangku berisi 7 orang. Ada penyekat rendah di bangku itu agar mereka tidak duduk berhimpitan.
Deretan bangku paling depan untuk jaksa dan timnya menunggu sidang dimulai. Di bangku kanan. Yang kiri depan untuk bangku tunggu pengacara.
Kami duduk di bangku nomor 3 dari belakang. Hanya bisa berbisik pelan.
Sambil menunggu, saya membaca komentar para perusuh. Posisi HP saya agak tinggi. Terlihat oleh petugas keamanan yang duduk jauh di depan sana. Ia memberi isyarat tangan.
Saya tahu: di ruang pengadilan Amerika tidak boleh memotret. Si petugas mungkin mengira saya akan memotret. Maka saya menurunkan posisi HP. Terlindung sandaran bangku. Saya meneruskan membaca komentar. Sambil menunduk. Ternyata juga dikirimi isyarat tangan. Rupanya tidak hanya dilarang memotret. Main HP pun tidak boleh.
Antara bangku-bangku pengunjung dan aparat persidangan ada pemisah. Anda sudah biasa melihatnya di film-film. Hakim berada di altar depan sana. Tempatnya lebih tinggi dari siapa pun. Kursi para yuri berderet di dekat dinding di kiri Hakim. Posisi kursi para yuri menghadap Hakim. Berarti juga agak menghadap ke semua aparat persidangan, termasuk menghadap terdakwa.
Lurus di seberang hakim adalah podium untuk jaksa dan pengacara. Jaksa dan timnya sendiri duduk di deretan kursi kanan podium. Terdakwa dan pengacara duduk di deretan kiri podium.
Di depan hakim persis, di kursi bawah, ada satu tempat untuk notulen persidangan. Dia mencatat apa saja yang diucapkan hakim, jaksa, terdakwa, pengacara, para saksi. Kemampuan menulis cepatnya sangat khusus. Zaman dulu pakai huruf Steno, agar bisa menulis secepat orang bicara. Mungkin sampai sekarang.
Petugas seperti itu tidak ada di pengadilan kita. Mungkin kita yang benar --akhirnya. Peralatan rekam sudah demikian majunya. Pun rekaman video. Lengkap dengan teksnya.
Tapi bukti hukum memang beda dengan bukti elektronik.
Beberapa menit kemudian hakim masuk. Dari pintu samping depan. Hakim tunggal. Para jaksa bangkit, melewati pembatas, duduk di kursi deretan jaksa. Pun pengacara. Dan penulis Steno.
Tidak ada yuri hari itu. Deretan kursinya kosong.
Terdakwa dibawa masuk. Lewat pintu samping kedua. Ia ditenteng oleh tiga petugas keamanan. Tangannya diborgol. Pun tetap diborgol selama persidangan. Tiga petugas keamanan berdiri di kiri, kanan dan belakang terdakwa. Nyaris mepet orang yang diborgol itu. Penjagaan yang ketat.
Hakim minta jaksa bicara. Ke podium. Tidak sampai dua menit. Lalu hakim dialog dengan terdakwa. Beberapa pertanyaan. Tidak sampai lima menit.
Lalu hakim mengucapkan putusan: Anda dijatuhi hukuman tujuh tahun.
Hanya itu. Hanya diucapkan. Tidak ada naskah yang dibaca. Apalagi berjam-jam.
Sidang pun selesai. Keseluruhannya tidak sampai 15 menit.
Rupanya hari itu memang sidang khusus pembacaan vonis --ups, pengucapan. Proses persidangan perkaranya sendiri di hari-hari sebelumnya.
Terdakwa dibawa ke luar. Pengacara dan jaksa juga meninggalkan tempat. Hakim tetap duduk di tempatnya. Santai. Rupanya akan ada sidang berikutnya.
Saya bergegas keluar ruangan. Mengejar pengacara. Itu perkara apa. Terdakwanya berkulit hitam. Pun pengacaranya. Ia tidak dibayar oleh terdakwa. Pengadilanlah yang memintanya jadi pembela. Rambut pengacara ini unik: dikelabang menjadi puluhan kelabang kecil.
Itu perkara pembunuhan. Sidangnya delapan kali. Pakai yuri. Di sidang sebelum ini yuri memutuskan ia bersalah. Hari itu hakim tinggal memutuskan nilai hukumannya.
Inilah peradilan yang simple, cepat dan murah.
Saya beruntung hari itu. Tidak ada sidang Trump. Bisa ikut dua sidang. Masih bisa lagi keliling ke lantai 10, tempat jadwal sidang diumumkan.
Besok, daya tarik persidangan Trump berada di puncaknya. Untuk bisa masuk harus antre panjang. Saya sepakat dengan Erick: akan mulai antre jam 05.00 pagi. Berarti jam 04.00 harus berangkat. Trump telah menyiksa saya. Yang disiksa mau.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan 17 Mei 2024 Berjudul :Lia Ahok
djokoLodang
Anak sigarane awak. Garwa = sigaraning nyawa. my better half, kata orang sono
Tivibox
Selamat pagi, salam sehat Anaknya Pak Iskan saya pikir sungguh cerdas. Keagamaan yang sempit dan nasionalisme yang sempit. Saya rasanya sependapat (semoga Abah juga tak marah he he). Kalau Nasionalisme yang sempit itu kita bisa elaborasi lebih luas, dimana saja, dengan siapa saja. Tapi kalau yang satunya, saya khawatir. Jangankan mengelaborasi, mengatakannya saja sepertinya kita takut. Takut menimbulkan keributan. Kadang kita jadi sumbu pendek dalam hal tersebut padahal kita bisa berpikir lebih panjang. Kecerdasan kita tidak bisa diukur dari seberapa mampu kita mengadili pendapat orang lain, tapi seberapa besar kita bisa menghargai pandangan tersebut. Tanpa ribut-ribut. Tapi yaa.. begitulah kita di Indonesia. Makanya kemajuan rasanya jauh di awang-awang.
Muh Nursalim
Hari ini jarak tidak begitu penting. Di kota sebelah atau di negeri yang jauh sama saja. Sama-sama tidak ketemu fisik tetapi juga sama-sama bisa ketemu daring, dengan vedio call. Saya terkadang ndak sadar jika si sulung ada di negeri yang amat jauh, negaranya Gadafi di Afrika utara. Karena saat vedio call dapat bertutur dengan jernih dan saling ketemu wajah walaupun hanya maya. Baru sadar ketika waktunya ternyata selisih lima jam. Jadi, misalnya ditelpon ibunya habis magrib, ternyata di Libya baru bakda shalat dhuhur. Bersykurlah kita menjadi manusia yang hidup di zaman super modern ini. Mangan ora mangan angger kumpul. Jargon itu telah berganti. Punya anak satu suatu saat akan pergi punya anam 9 juga semuanya akan pergi. Mengikuti sumber rejekinya masing-masing. Maka nggondeli anak agar tetap di rumah, yang nanti diharapkan dapat merawat orang tua saat sakit tak bisa lagi dipedomani. Sekarang, orang tua harus tetap mandiri sampai mati. Maka terus beraktifitas agar tetap sehat menjadi cara terbaik agar nasibnya tidak tergantung kepada anak.
Jimmy Marta
Dari rumah, semua suara mesjid sak kelurahan terdengar jelas. Tiga mesjid, empat mushalla seperti nya salah satu speakernya mengarah keumah. Perkiraan saya satu kelurahan ini, mungkin 99 persennya muslim. Mestinya 'tak ada' yg terganggu suara ngaji dan lantunan azan. Tak masalah Toleransi tak masalah. Mengurangi volume dan waktu tayang hanya bikin masyarakat bertanya. Itu malah yg bikin masalah. Saat dulu sy juga pernah tinggal persis samping gereja. Pintu rumah persis hadapan pintu samping gereja. Gak harus masuk, untuk dapat hiburan musik rohani gratis. Lingkungan sudah begitu. Bukan masalah.
djokoLodang
--o-- ... Lia sering mengekspresikan keinginannyi untuk bisa pulang ke Indonesia. Agar bisa menyumbangkan tenaganyi untuk masyarakat dan negara. Ketika menjadi ketua tim pemenangan Ganjar di Amerika pun tujuan Lia untuk Indonesia yang lebih baik. Saya tidak setuju itu. Saya justru menyarankan Lia untuk tetap di Amerika. Di Indonesia sudah terlalu banyak politisi. Jangan risi dengan anggapan berkarier di luar negeri itu kurang nasionalistik. ... * Betul, p DI. * One Earth, One Sky, One Humankind. --jL--
Yellow Bean
Nasional isme sempit. Jangan dong. Nasional isme yang modern. Hidup di negara majemuk seperti Indonesia tidak bisa hanya mengedepankan ego kelompok atau golongan. Jika di satu kelompok yang homogen pun penunjukan seorang pemimpin tetap menjadi persoalan karena tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Terutama pada standar seorang pemimpin yang diinginkan. Jika orang besar mungkin bisa jalan tanpa bergantung banyak kepada pemimpinnya. Tentu beda dengan orang kecil yang pasti punya harapan besar kepada pemimpin pilihan mereka
Fiona Handoko
selamat pagi bp thamrin, bung mirza, bp agus, bp jo, bp jimmy, bp jokosp, bp 1301, bp djoko dan teman2 rusuhwan. "ketika erick mengemudikan mobil. lia begitu sering minta erick harus belok di mana. erick pun menurut." teringat akan jokes seorang rusuhwan. kalau lia sedang goreng telur ceplok. apakah erick juga cawe2 kapan harus dibalik, kapan harus diangkat, besar nyala api nya, dst dst?
djokoLodang
--o-- Saat jalan kaki pagi, Tante Korina melihat seorang lansia sedang bersantai duduk di taman. "Wah, itu ada seorang tua yang terlihat happy. Coba kutanya dia." "Selamat pagi, Tuan. Anda terlihat sangat gembira. Apa rahasianya?" "Ah, biasa saja, Saya sangat menikmati hidup." "Apa maksud Tuan?" "Benar-benar menikmati hidup. Itu rahasianya. Saya merokok tiga bungkus sehari. Minum whiskey. Bukan hanya bir atau Coca-Cola. Makan apa saja yang saya suka. Steak, hamburger, fried chicken. Tidak ada pantangan. Tidak harus susah-susah olahraga seperti orang-orang di sana itu. Ini saya duduk-duduk di taman. Sambil menikmati McDonald Double Cheese burger. Minum coklat manis. Tambah kentang goreng nanti. Pokoknya semua yang lezat. Oh iya. Ada satu lagi ... Tapi, rahasia, ya... Tadi kan tanya rahasia saya ... Tiga kali seminggu menikmati itu, ... tuuuh..." "Menikmati apa, Tuan?" "Apa,ya... Sebut saja obat ...yang bikin gembira...Kadang diminum, ...atau dihisap... kadang disuntikkan..." "Waduh, hebaat. Istimewa. Maaf, boleh kah saya tahu, berapa usia Tuan sekarang?" "Tigapuluh dua." --jL--
Liam Then
Keagamaan yang sempit dan nasionalisme yang sempit begitu kata anak Pak Iskan. Belakangan di medsos saya perhatikan, apa-apa, dikit-dikit selalu dihubungkan dengan kuasa Tuhan, seakan-akan takut orang tak tahu,bahwa Tuhan Maha Kuasa. Padahal semua orang di Indonesia, sudah tentu tahu. Apalagi kalau tema orang kaya dan sejenisnya. Langsung ada komen kira-kira begini : "semuanya itu hanya sementara, tidak penting". Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah orang seperti ini asli tidak demen duit,tidak cari duit dan tabungan, tidak demen rumah gede, dan mobil, istri anak mau apa, tinggal dibelikan. Uang itu penting. Orang kaya peluangnya lebih besar untuk bantu kesusahan orang, dibanding orang kere yang tak punya tabungan, boro-boro bantu orang, bikin nyaman hidup orang tua atau saudara saja, bisa jadi susah. Beberapa orang kaya yang sungguh kaya, bisa sampai punya andil ubah nasib orang. Anak Pak Iskan itu salah satu contohnya, dulu kecil kere, sepatu pun tak punya, susah payah kerja pada orang kaya, kemudian menjadi kaya. Kemudian tahun 2001 dirikan ITC-centre, yang banyak fasilitasi anak muda dapat beasiswa ke Tiongkok. Ini "impact" nya sudah mampu ubah jalur nasib orang, dengan beasiswa kasih orang kesempatan menimba ilmu. Sejak 2001, sudah 23 tahun,anda bisa kira hitung, sudah berapa beasiswa dikeluarkan. Jika per tahun anggap 5 , berarti sudah sebabkan 115 orang ada kesempatan ubah jalur nasib. Bayangkan jika anak Pak Iskan ini cuma macul kerjanya, ra gelem kepeng.
Er Gham
Lia berkarier saja di luar negeri. Negeri ini masih sakit. Masih butuh waktu pemulihan menjadi negara maju. Korupsinya merajalela. Sesama saudara, satu negeri satu bangsa, merampok saudaranya sendiri. Penyembah uang, tidak peduli yang haram hasil korupsi. Korupsi merusak semua sendi kehidupan bernegara.
Gregorius Indiarto
"..., Lia sudah harus menjadi Ahok yang berbeda". Dan mungkin, masih akan ada yang "membenci 'Ahok'" dengan cara yang berbeda". Met pagi, salam sehat, damai dan bahagia.
doni wj
Yang dimaksud adalah kakeknya Andretti, mantan pacarnya Galuh Banjar
alasroban
Meskipun saya bingung apa hubunganya Lia dengan Ahok. Namun nitip sandal sama semangka tetap harus di laksanaken.
Wilwa
@Juve. Jalan layang MBZ khan sudah ada plesetannya di kalangan Tionghoa Jakarta. MBeZai. Mandarinnya Mashi 马屎. Baca: Mashe. Artinya Horse 马 Shit 屎. Hahahahaha
Ardi Suhamto
Berklee, jadi inget film CODA yg menang Oscar beberapa tahun silam. Bercerita mengenai seorang gadis yang hidup di dalam keluarga yg bisu, tapi dia bisa bernyanyi dan didorong oleh gurunya masuk ke Berklee, sedangkan keluarga nya mau supaya dia bisa membantu keluarganya berkomunikasi dengan orang lain.
Udin Salemo
insinyur disini jagonya "ngebor." biasanya insinyur yang suka "ngebor" itu kalau di perusahaan karya adalah orang yang sudah lama bekerja. karir mentok. akhirnya berpikir bagaimana bisa memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. juga atasannya. seperti karyawan amarta itu, yang "ngebor" untuk dirut (pengakuan karyawan yang ditangkap). tentu karyawan itu juga kebagian hasil ngebor. ada satu perusahaan yang punya kebijakan, PM gak akan menjabat sampai proyek selesai. kalau pembangunan proyeknya tahunan maka masa jabatan PM proyek paling lama enam bulan, setelah itu diganti. begitu selanjutnya. jadi gak ada kesempatan buat PM "ngebor" karena lama menjabat. PM pengganti pasti tidak akan mau menanggung borok yang ditinggalkan PM sebelumnya. dengan cara ini kecurangan yang dibuat PM sebelumnya akan ketahuan. orang kelamaan menjabat itu salah satu sumber masalah kenapa banyak karyawan perusahaan karya ditangkap karena "ngebor."
Juve Zhang
Karena pengurangan volume struktur dan kualitas nya tol MBZ hanya untuk jenis kendaraan kecil saja.memalukan dan membahayakan. Raja MBZ yg Kaya Raya mungkin ketawa di sana.Nama besar MBZ tercoreng..wkwkmkmk
Bilqis F Nabilah
Selalu kagum dengan orang berbakat, terlebih di musik. Musik di negara kita masih menjadi barang mewah. Kenapa mewah? Karena jika sy mengatakan mahal, sepertinya terlalu kasar. Melepas anak bukan hal mudah. Terlebih bagi anak yang besar di keluarga yang punya prinsip seperti Bapak sy: Mangan nggak mangan, sing penting kumpul," atau juga "Seenak-enak hujan emas di negeri, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri." Maka sy setuju dengan Abah, jika ada kesempatan untuk berkarir di luar negeri, jangan pulang. Itu yang saya tanamkan ke adik yang sedang kuliah kedokteran di Wuhan. Jangan pulang! Kalau kangen, mudik saja atau kita akan jenguk.
Lagarenze 1301
Santai sejenak. Dapat kiriman jokes bapack-bapack. + Gajah apa yang paling baik hati? - Gajahat. + Kucing apa yang nggak pernah dipenjara meski suka mencuri? - Kucing gawrong. + Jauh di mata dekat di hati itu apa? - Puser. + Warna pa yang nggak pernah peduli? - Biru don't care. + Hewan apa yang namanya cuma dua huruf? - U dan G. + Hewan apa yang namanya hanya satu huruf? - G ajah. + Kota apa yang banyak bapack-bapacknya? - Purwodaddy. + Benda apa yang sudah masuk tapi tetap di luar? - Kancing baju. + Apa yang jika dilihat malah lari? - Kuping. + Patung, patung apa yang bisa belanja? - Patungan bersamamu. + Huruf apa yang selalu kedinginan? - Huruf B, berada di antara AC. + Hewan apa yang selalu datang saat ayam berkokok? - Harimau pagi. + Orang apa yang berenang tapi rambutnya tak pernah basah? - Orang botak.
Juve Zhang
@Wilwa...MaShi...kotoran kuda...kotoran korupsi..yg khawatir ambruk karena kualitas struktur di korupsi demi bayar sekian Ember ke badan pemeriksa keuangan...mengerikanmata rantai pengeboran..yg tugas memeriksa keuangan pun minta jatah..sudah hancur moral semua lini.eksekutif.yudikatif.yg kerja korupsi.yg meriksa korupsi.hancuuur
Jimmy Marta
Erick pasti gak cawe2 kalau ibunya bikin telor ceplok. Pun bila istrinya nanti mau macam2 dg telornya. Bikinan ibu pasti lezat. Olahan istri pasti enak..
Bilqis F Nabilah
Sy penggemar berat tulisan Abah. Sejak menulis series Ganti Hati di Jawa Pos. Untuk bisa membaca, sy harus berdiri di mading pondok. Berdesakan dan berebut dengan santri lainnya. Koran di mading pondok sangat terbatas. Hanya beberapa halaman saja yang dipasang. Akhirnya, sy merelakan uang saku, demi berlangganan Jawa Pos. Ketika ada Disway, tak pernah melewatkan satu haripun untuk tak membaca tulisan Abah. Kesalahannya? Sy dak pernah berani berkomentar. Baru kemarin. Entah kenapa kok nggak pede sama sekali. Tapi mulai hari ini, sy akan menguatkan diri untuk berani nulis komentar.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 306
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google