J AKARTA, DISWAY.ID - Sekretaris Jendral (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengaitkan kisah pertunjukan Wayang Sisupala yang dimainkan dengan Lakon Pandu Swargo.
Dia mengatakan bahwa kisah Wayang Sisupala tersebut mengingat untuk tidak melakukan dendam selama menjalankan politik.
Hal ini sejalan dengan ajaran yang sempat disampaikan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Presiden RI ke-5 itu, kata Hasto, menyampaikan bahwa di dalam politik tidak boleh ada dendam.
“Di politik ini kita diajarkan oleh Bu Mega untuk tidak boleh dendam. Dan biarlah Sisupala ini nanti terkena karmanya saudara-saudara sekalian,” ujar Hasto Kristiyanto di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu, 8 Juni 2024.
Lebih lanjut, pertunjukan wayang yang dimainkan oleh dalang Ki Warseno Slank dengan Lakon Pandu Swargo digelar untuk memperingati reformasi, di mana dalam memperjuangkan hal tersebut kantor DPP PDI diserang dan dibakar pada 27 Juli 1996.
Hasto mengisahkan dalam lakon tersebut bagaimana Kresna yang marah dan membunuh sepupunya, Sisupala karena melupakan kebaikan saudaranya sendiri.
Di mana Sisupala dilahirkan dalam keadaan cacat, matanya tiga dan tangannya yang lebih dari dua.
BACA JUGA:Sudah Diusung Gerindra, PDIP Berusaha Kadernya Jadi Pendamping Khofifah di Pilgub Jatim
“Tidak sempurna, lalu bapaknya yang begitu sayang dengan anaknya berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar anaknya dapat menjadi manusia normal, dan yang menyembuhkan itu adalah Kresna melalui pengembaran dan perbuatan baiknya,” cerita Hasto.
Hasto juga menyampaikan kematian Sisupala berada di tangan Kresna sebagai sosok bukan hanya yang menyembuhkannya, tetapi juga orang yang mendidik, dan membesarkannya.
Di dalam perjalanan kehidupan Sisupala, lanjut Hasto, dia berhasil menjadi raja.
Namun, Sisupala melupakan Kresna bahkan menghinannya lebih dari 100 kali.
BACA JUGA:Sekjen PDIP Singgung Pemerintahan Ngemis Investor Untuk Pembangunan IKN
“Karena dulu Kresna berjanji sama bapaknya Sisupala ini kalau Sisupala ini menghina Kresna lebih dari seratus kali, maka akan langsung di situlah akhir hidupnya. Jadi, dihitung terus. Maka ketika lewat keluarlah batasnya, karena ada seorang yang lupa terhadap siapa yang membesarkannya. Kemudian munculah amarah dari Kresna dan tamatlah itu Sisupala,” imbuhnya.
Di dalam wayang, juga ada ritual kehidupan seluruh problematika hidup, termasuk di dalam menjadikan kekuasaan sebagai bentuk segala cara itu juga ditunjukkan.
“Di dalam wayang ini kita diajarkan suatu nilai-nilai kehidupan suatu pertarungan antara yang baik dan yang buruk, antara Satria Pandawa yang dibantu oleh para Punakawan sebagai representasi dari Wong Cilik, tetapi bijaksana berhadapan dengan Kurawa. Dan sekarang ini rupanya banyak juga Kurawa-kurawa di dalam dunia kehidupan kita,” tandasnya.