JAKARTA, DISWAY.ID-- Per 13 Juni ini, Indonesia dihadapkan dengan fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri tekstil.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah karyawan yang di PHK pun kini sudah mencapai angka 13.800 karyawan.
BACA JUGA:KSPN: Pesangon Pekerja yang Terkena PHK Massal Masih Tidak Jelas!
BACA JUGA:Industri Tekstil Sedang Tidak Baik-baik Saja, Ini Daftar Pabrik yang Segera Lakukan PHK Massal
Sejumlah dugaan muncul terkait alasan dibalik fenomena PHK massal ini. Menurut pendapat Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 merupakan salah satu alasan dari anjloknya industri tekstil di Indonesia.
“Untuk angka potensi PHK. Dalam satu tahun ke depan, jika Permendag 8 ini tidak diperbaiki, kurang lebih 120 ribu pekerja dari matinya sekitar 55 perusahaan,” ujar Danang dalam keterangan tertulis resminya pada Kamis 13 Juni 2024.
Menurut Danang, Permendag Nomor 8 Tahun 2024 ini pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API U) daripada mengedepankan upaya negara untuk meningkatkan industri TPT (tekstil dan produk tekstil) domestik.
BACA JUGA:Diisukan Lay Off Banyak Pegawai, Pemprov DKI Jakarta Belum Tahu Isu PHK Karyawan Tokopedia
BACA JUGA:BP Tapera Sebut Iuran Tapera Bisa Diambil Jika Peserta Resign atau Kena PHK
Hal ini akan menjadikan Indonesia tenggelam kebanjiran produk garmen atau tekstil yang sudah jadi. Kini nasib pekerja yang bergantung di industri TPT pun bakal terancam.
“Pada ujungnya, juga akan merugikan pemerintah sendiri. Mengapa merugikan pemerintah sendiri? karena kan nilai pajak kita (industri) menjadi berkurang. Yang seharusnya industri kita besar, mampu bayar pajak besar menjadi mengecil bayar pajaknya,” jelas Danang.
Adapun setoran pajak yang defisit, lanjutnya, karena industri padat karya hingga industri teknologi memberikan sumbangan yang kecil terhadap perpajakan, lantaran industri tersebut untuk menghidupi usahanya sendiri sudah megap-megap.
Oleh karena itu, Danang menilai pemerintah harus mengubah cara saat membuat regulasi. Salah satu caranya dengan mendengarkan saran dari dunia usaha di dalam negeri, bukan justru lebih mendengarkan saran dari pasar global.