Adapun hasil pengujian alat ini bisa diketahui dengan cepat, yakni sekitar 30 detik dan terlihat secara realtime.
Diketahui, alat ini merupakan pengembangan dari proyek yang dilakukan kakak kelasnya.
"Sebelumnya, kakak kelas sudah bikin, tapi ini kita mau tampilannya lebih menarik, ergonomis, dan mudah dibawa-bawa. Jadi kolaborasilah mereka dari ARE dan PDE," tutur dosen pembimbing Natasha, Ir. Yosica Mariana, S.T., M.T., IPU, ASEAN Eng..
Di tambah lagi, produk ini dimodifikasi sehingga tidak memerlukan internet untuk penyimpanan datanya.
"Sebelumnya masih harus menggunakan internet dari Wi-Fi atau selainnya. Ini bisa langsung digunakan," kata William.
BACA JUGA:Cerita Jeremy Teti Idap Batu Ginjal Selama 4 Tahun, Pernah Minta Tolong Tetangga ke IGD
Kemudian dari sisi desain produk, alat ini semakin mudah dipegang dan dibawa ke mana-mana.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, William dan Natasha mengaku mengalami sejumlah tantangan hingga berhasil merancang Nephroair tersebut.
Menurut Natasha, proses riset alat untuk keperluan medis ini cukup sulit dilakukan, terlebih ia tak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan.
"Mencari korelasi antara kreatin dan albumin dalam amonia susah juga untuk mengertinya karena kita bukan yang memiliki background medis," ungkap Natasha.
Kemudian, pencarian komponen penyusun Nephroair dan studi banding produk serupa masih sulit ditemukan.
BACA JUGA:Pasien Penerima Transplantasi Ginjal Babi Meninggal, Ini Pendapat Ahli Genetika IPB
Sementara William juga harus memikirkan bagaimana merancang kembali sistem, termasuk machine learning dan data pattern, serta komponen alat ini sehingga lebih ringkas dibanding alat sebelumnya.
"Ada perubahan sistem dari kakak tingkat karena sebelumnya bisa dibilang sulit dibawa dan banyak komponennya. Untuk yang saat ini, alat sudah diringkas sedemikian rupa supaya mudah dibawa,” tuturnya.