Ismail Haniyeh dikenal sebagai sosok yang keras dalam diplomasi internasional saat perang melawan Israel di Jalur Gaza.
Bahkan, Haniyeh dipandang lebih moderat dibandingkan para pejabat garis keras Hamas di Jalur Gaza.
Dikutip dari Britannica, ia menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Al Shati di Jalur Gaza.
BACA JUGA:Benjamin Netanyahu Bubarkan Kabinet Perang Israel-Hamas Setelah Kepergian Benny Gantz
Sama seperti pengungsi Palestina pada umumnya, ia dididik di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Badan bantuan PBB untuk Palestina (UNRWA).
Haniyeh kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam Gaza, tempatnya belajar sastra Arab pada tahun 1981.
Masa muda Haniyeh itu dikenal sebagai sosok yang aktif dalam politik mahasiswa, seperti memimpin perkumpulan mahasiswa Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.
Pada saat kelompok Hamas terbentuk pada 1988, Haniyeh menjadi salah satu anggota pendiri termuda.
Di tahun yang sama, ia ditangkap oleh Israel dan dipenjara selama enam bulan dan diusir ke Lebanon bagian selatan karena terlibat dalam intifada pertama.
BACA JUGA:Pengakuan Tawanan Hamas Setelah Dibebaskan: Serangan Israel Tewaskan Sandera Lainnya
BACA JUGA:Dengan Terpaksa Netanyahu Setujui Permintaan Gencatan Senjata Joe Biden, Tetap Ngotot Habisi Hamas
Pemberontakan melawan pendudukan Israel itu berlangsung hingga tahun 1993.
Lalu, Haniyeh kembali ke Gaza pada tahun 1993 usai Perjanjian Oslo.
Haniyeh di Hamas memulai perannya pada tahun 1997 saat menjadi sekretaris pemimpin spiritual kelompok itu, Sheikh Ahmed Yassin.
Di tahun 2019, Haniyeh meninggalkan Jalur Gaza dan mulai tinggal di Turki dan Qatar, mewakili Hamas di luar negeri.