Tawaduk Thinking

Sabtu 09-11-2024,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

Begitu sering ke San Francisco, baru sekali ini saya ke Wisma Indonesia. Bagus sekali. Di daerah lama paling elite di San Francisco. Satu kawasan dengan rumah Nancy Pelosi, Ketua DPR yang legendaris itu.

Anda sudah tahu: kota San Francisco berbukit-bukit. Indah. Ada pemandangan teluk di sisi dalam. Ada laut di sisi luar. Seperti Balikpapan --di tahun 3024.

Wisma Indonesia berada di salah satu puncak bukitnya. Tiga lantai. Masih bisa naik lagi ke balkon di atasnya. Dari balkon itu terlihat jembatan Golden Gate terasa dekat. Pun museum Fine Art yang terkenal itu. Terlihat juga pulau Alcatraz –bekas penjara kelas berat yang jadi objek wisata.

Di saat negara sulit uang pun baiknya Wisma Indonesia ini jangan dijual. Atau bisa dijual. Bisa laku antara USD 20 juta sampai USD 25 juta. Luasnya sekitar 400m2.

Waktu dibeli dulu harganya cuma sekitar USD 250.000. Di tahun 1973. Saat menteri keuangannya Prof Dr Ali Wardhana, alumnus Universitas Indonesia dan University of California Berkeley.

Hitung sendiri harga itu sudah naik berapa ribu persen.

Saat makan siang, di lantai dua (lihat Disway kemarin: Taksi Kemudi), kami terjerumus ke topik pembicaraan yang serius. Soal critical thinking.

Soal tes masuk ke UC Berkeley yang sulit. Pun bagi calon mahasiswa yang sudah terpilih dan pintar-pintar di bidang akademisnya.

Kita punya titik lemah. Titik lemahnya satu: gagal saat tes membuat esai.

Ternyata Indonesia Emas 2045 perlu disiapkan sejak dari masalah esai. Mumpung masih 20 tahun lagi.

Diskusi di meja makan ini jadi lebih panjang. Sajian soto Lamongan, dengan isi bihun, sudah habis. Perlu tambah nasi putih, rendang, tahu sayur, dan kerupuk udang. Ups... tidak. Saya tidak makan kerupuk.

Saya puji juru masak di Wisma Indonesia. Terutama karena ia, orang Manado, bisa bikin soto Lamongan dan rendang yang enak. Alangkah sedapnya kalau ia bikin woku dan dabu-dabu.

Kelemahan dalam membuat esai kelihatannya sepele. Tidak menyangkut ilmu dasar pilihan akademisnya. Tapi mereka yang pintar-pintar itu toh gagal di esai dalam tes masuk UC Berkeley.

Padahal mereka sudah dilatih khusus untuk membuat esai. Satu bulan penuh. Menjelang tes masuk. Toh gagal.

Diskusi kian menarik. Mengapa kegagalan itu terjadi. Ketemulah penyebab di hulunya. Anda pun sudah tahu penyebab di hulunya itu: tidak dimilikinya critical thinking.

Anda bisa tidak setuju. Anda bisa bilang penyebabnya bukan itu. Sayangnya Anda tidak terlibat dalam diskusi sehingga tidak terekam di sini.

Kalau benar penyebabnya ketiadaan critical thinking maka alangkah sulitnya mengatasinya. Tidak bisa dengan ''pendidikan singkat satu bulan''. Pun tiga bulan.

Di Amerika critical thinking itu sudah menjadi bagian dari pendidikan. Sejak SD. Critical thinking bukan dianggap kemasan. Yang bisa dibungkuskan belakangan --dengan dicarikan bungkus plastik, kertas bekas atau daun pisang.

Gejala ketiadaan critical thinking itu bisa terlihat di kelas: begitu sedikit siswa yang berani bertanya kepada guru. Dan guru begitu pelit memberikan rangsangan kepada siswa untuk berani bertanya.

Ini juga disinggung saat kami diskusi dengan Prof Dr Djodji Anwar di lab teknik mesin di UC Berkeley. Ia pernah diundang mengajar di kelas sekolah Indonesia. Ia melihat gejala itu.

"Kalau kelas lagi ribut dengan siswa yang bicara antar mereka sendiri gampang membuat mereka diam. Ajukan permintaan: siapa yang mau bertanya? Kelas akan kembali sunyi. Semua diam. Tidak ada yang berani bicara, takut dikira akan bertanya," ujar Anwar.

Siapa Djodji Anwar Anda bisa lihat Disway 6 November 2024: Anwar Berkeley.


Membahas critical thinking bersama Prof Djodji Anwar di lab teknik mesin di UC Berkeley ditemani Ari Sufiati.--

Prof Dr Sutiman di Universitas Brawijaya Malang, juga sama. Doktor nano biologi dari Jepang itu sampai punya cara sendiri untuk membuat mahasiswanya berani bertanya: bertanya apa pun nilai akhir semesternya ditambah.

Tetap langka. Ada, tapi langka. Sudah telanjur tidak diciptakan iklim critical thinking sejak SD, SMP dan SMA.

Makanan sudah habis. Diskusi masih berlanjut. Masih ada buah semangka. Juga kopi dan teh.

Adakah semua itu akibat budaya timur? Sopan? Santun? Sungkan? Rendah hati? Tepo seliro? Ningrat? Feodal? Tawaduk?

Benar! Pasti ada hubungannya.

Salah! Jepang kok bisa. Juga Korea.

Diskusi pun menukik lebih dalam lagi. Sampai ke soal hidup sesudah mati. Sampai surat Al Baqarah dalam Alquran. Kang Deden banyak hafal ayat-ayatnya.

Di situ ustaz mengajarkan banyak bertanya itu tercela. Seperti cerewet. Dianggap buruk seperti Israel. Diperintah sembelih sapi saja masih bertanya. Sapinya jantan atau betina. Apa warna kulitnya.

Stop. Jangan diteruskan. Bisa murtad. Toh Anda bisa berpikir sendiri di mana hulu dari lemahnya critical thinking itu.

Dan lagi sudah terlalu panjang. Saya masih harus segera mencoba naik taksi tanpa pengemudi. Mumpung di San Francisco. Keburu sore.

Masih akan ada diskusi dengan diaspora pukul 17.00. Masih ada makan malam di rumah Marissa di San Bruno. Ahli-ahli dari MIT asal Afrika Selatan akan gabung di makan malam itu.

Masih belum menulis pula untuk Disway.

Stop.( Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan  Dahlan Iskan di  Disway Edisi 8 November 2024: Taksi Kemudi

heru santoso

Saya tertidur saat nyetir itu memang perjalanan panjang dari Bali langsung Magetan. Ini bukan pembenar. Tetap saja salah. Salah kuadrat. Salah pertama secara aturan belum boleh auto Drive di Indonesia. Salah kuadratnya, mobil kecepatan 110km/J kok sopirnya tidur. Kini sudah menjadi habit saya begitu masuk tol langsung mode ADAS ON. Sebetulnya itu bukan kebiasaan asli saya, namun karena seringnya diomelin istri saat nyetir di tol gas gas salip salip. Istri saya merasa lebih nyaman kalau yang nyetir ADASnya Wuling (auto driving) daripada saya setir manual. Katanya lebih halus ngegas dan ngerim nya. Makanya waktu dari Bali itu begitu masuk tol ia langsung tidur pulas. Saya pun tertidur di kursi sopir entah berapa puluh km......

Mbah Mars

Ini plesetan di Jogja: UGM: Usaha Gedung Manten (memang salah satu gedung laris utk resepsi manten) APMD: Akademi Penggemar Musik Dangdut UMY: Universitas Muhammadiyah Yeee. UII: Universitas Insyaallah Islam Yg paling enak kuliah di STTL: Sekolah Thenguk-thenguk Lulus.

Mbah Mars

Ini percakapan di ruang tunggu bandara NYIA Yogyakarta “Asli Jogja napa, Pak ?”, kata seorang pria. “Enggih, Mas. Njeron beteng”, jawab pria kedua “Weee piyantun cedhak ratu adoh watu”, kata pria pertama. “Begitulah, Pak. Saya sepelemparan batu dari Kraton. Njenengan mana ?” “Saya sebaliknya Bapak. Cerak watu adoh ratu. Jabal Janub, Pak” “Mana itu ?” “Gunung Kidul, Pak. Bapak pensiunan apa ?” “Kerja saya tukang ngurusi uang perusahaan”, jawab pria ke 2. “Wah penaknya. Terus sekarang setelah pensiun apa kesibukan Bapak ?” “Saya sekarang menekuni hobi” “Hobi apaan, Pak ?” “Komentator Disway!”, jawab pria ke 2. Tiba2 terdengar panggilan agar penumpang segera masuk ke pesawat. Tanya jawab terputus. Pertanyaannya: “Siapakah pria ke dua tersebut ?”

djokoLodang

-o-- Di bioskop, saat lampu sudah dipadamkan, dan semua penonton lagi asyik nonton adegan malam hari di pedesaan. Jadinya nyaris gelap gulita, Susi (berbisik):"Joni, sayang. Kamu lagi gak enak badan, kah?" Joni: "Aku baik-baik saja. Kenapa?" Susi: "Kok badanmu dingiin sekali? Tidak seperti biasanya." Joni:"Ooh, ituuu. Yang kamu pegang itu es lilin lolipop,... yang barusan kubeli tadi. Memang sengaja kutaruh di sela pahaku, supaya ga jatuh...". --0-

DeniK

Empat puluh sembilan Dalam tulisan ini saya menangkap rasa kecewa dan keputus asaan abah karena sudah datang jauh-jauh dari negri tetangga hindia Timur laut hanya untuk menyaksikan jagoin nyi kalah .pesta berakhir sebelum di mulai.

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

@Liam Then.. Padahal "olahraga" yang pakai tanda petik itu enak dan menyenangkan.. Lahir bathin.. Kalau "alatnya" bermasalah bisa konsultasi ama saya.. ### He he..

Mirza Mirwan

Mestinya saya tak usah membaca berita Perang Israel vs Hamas dan Hezbollah, agar tidak "trenyuh" dan "nggrantes". Tetapi bila itu saya lakukan berarti saya tidak menghargai jerih payah wartawan yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk memberitahukan kepada dunia bahwa di abad 21 ini masih ada aksi genosida di Gaza dan Libanon oleh Israel dengan cara yang sangat brutal. Betapa tidak brutal kalau objek serangan Israel adalah sekolah dan RS yang menjadi tempat perlindungan warga, juga kamp pengungsi? Sudah begitu, eh masih ditambah dengan larangan beroperasinya truk pengangkut bantuan pangan dan obat-obatan. Belum lagi juga menangkap puluhan paramedis dengan alasan mereka itu anggota Hamas atau Hezbollah. Model serangan IDF juga yang instan: menjatuhkan bom MK-84 atau MK-82 ke sasaran. Maka wajar bila pertambahan korban tewas dan terluka begitu cepat. Sampai sebelum Subuh tadi korban tewas di Gaza sudah 43.469 jiwa, yang terluka 102.561 orang. Sementara korban tewas di Libanon sudah 3.103 jiwa, yang terluka 13.856 orang. Dan jumlah korban tewas dan terluka itu masih akan terus bertambah bila IDF masih punya bom MK-84 dan MK-82 bantuan AS.

Kategori :