"Pengawasan ketat terhadap praktik ilegal, pemberdayaan pelaku lokal melalui promosi dan insentif, edukasi kepada wisatawan untuk memilih layanan berizin, serta keterlibatan asosiasi dalam proses penyusunan kebijakan," tuturnya.
BACA JUGA:Budi Arie Setiadi Disebut-sebut Terima Jatah dari Pengamanan Situs Judol Sebesar 50 Persen
Ia juga mengusulkan agar dibentuk forum komunikasi rutin antara pelaku usaha (pengelola destinasi, travel agent, hotel, toko oleh-oleh, pemandu wisata dll) dan pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata (Kemenpar), yang digelar setiap triwulan atau enam bulan.
Forum ini dapat menjadi wadah pelaporan kondisi lapangan dan menjadi dasar pembentukan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
BACA JUGA:Wilayah Rawan Parkir Liar Bakal Dipasang CCTV, Dishub DKI: Jukir Gak Bisa Lagi Kucing-kucingan
“Pariwisata kita bisa tumbuh sehat dan inklusif jika ada kemauan politik, pengawasan yang tegas, dan keberpihakan terhadap pelaku usaha domestik,” pungkasnya.
Sementara itu, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. I Putu Anom, turut memperkuat kekhawatiran tersebut.
Ia menyatakan bahwa banyak wisatawan asing kini lebih memilih akomodasi ilegal seperti vila tanpa izin dan rumah kos, yang menyebabkan hotel-hotel resmi mengalami penurunan okupansi.
“Padahal jumlah wisatawan asing meningkat tajam pascapandemi (2024: 13,9 juta, 2022: 5,8 juta). Namun sektor perhotelan tak ikut tumbuh karena tergeser oleh penginapan ilegal,” jelas Prof. Anom.
BACA JUGA:Wilayah Rawan Parkir Liar Bakal Dipasang CCTV, Dishub DKI: Jukir Gak Bisa Lagi Kucing-kucingan
Ia juga menyoroti tren wisatawan asing yang menyewa properti atas nama warga lokal untuk kemudian disewakan kembali ke turis lain dari negara asal mereka, serta praktik OTA asing yang dinilai merugikan pelaku lokal dengan predatory pricing dan pengalihan beban pajak.
Dampaknya tak main-main. Penurunan okupansi menyebabkan banyak hotel memangkas bonus, bahkan melakukan PHK. PAD dari sektor pariwisata ikut merosot, memukul Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama ini bergantung pada sektor tersebut.
"Pengawasan perlu diperketat. Pemerintah daerah seperti Pemkab Badung kini sudah mulai turun langsung. Karena pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata sangat besar, mereka tak bisa tinggal diam. Jika PAD turun, jelas APBD ikut terdampak," tutupnya.