JAKARTA, DISWAY.ID – Susu yang dibagikan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) ramai diperbincangkan publik usai viral di media sosial.
Warganet mempertanyakan kualitasnya karena kandungan susu segar yang hanya 30 persen, sementara komposisi utama justru air.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menegaskan bahwa tidak semua anak cocok mengonsumsi susu. Ia mencontohkan pengalaman pribadi, ketika anaknya mengalami diare setelah minum susu dalam kondisi tertentu.
BACA JUGA:Oh My God! Kepala BGN Tanggapi Kritik Pedas dr Tan Soal Burger di MBG
"Begitu minum susu dalam keadaan tertentu pasti mencret-mencret. Jadi penerapan hal seperti itu hendaknya berdasarkan assessment yang melibatkan sekolah,” kata Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Menurut Yeka, pemaksaan konsumsi susu tidak bijak bila anak-anak tidak terbiasa. Ia menyebut protein pengganti, seperti telur atau ikan, bisa menjadi alternatif.
“Kalau tidak terbiasa susu kenapa harus dipaksakan? Bisa saja proteinnya dari telur atau ikan,” jelasnya.
Selain itu, Yeka menekankan pentingnya dialog antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan siswa mengenai menu MBG. Menurutnya, anak-anak sebaiknya diperlakukan sebagai subjek, bukan sekadar objek.
BACA JUGA:MBG Disorot DPR! Irma Chaniago Kritik Sertifikasi, Said Abdullah Usul Dapur Sekolah
"Makanannya harus sesuai dengan taste-nya mereka. Jangan sampai siswa hanya diposisikan sebagai objek,” ujarnya.
Sebelumnya, unggahan akun Instagram @mericabai memicu perdebatan publik. Dalam video itu, seorang anak membaca komposisi susu berlogo BGN. Ia menemukan kandungan utama adalah air, sementara susu sapi segar hanya 30 persen.
“Pilihan lebih sehat tuh Badan Gizi Nasional, vitamin, mineral ada 17. Komposisinya air,” ujar siswa tersebut dalam video.
BACA JUGA:KDM Mau Bentuk Satgas MBG, SPPG Bermasalah Bakal Diberhentikan
Warganet pun terkejut dan mempertanyakan komposisi susu MBG. Beberapa bahkan mengoreksi, menyebut kandungan air mencapai sekitar 60–70 persen.
Fakta itu membuat publik khawatir mengenai standar gizi dalam program pemerintah.