“Sekolah perlu aktif mendeteksi dini perilaku siswa yang menyimpang karena pengaruh game, sementara orang tua wajib hadir secara emosional dan waktu. Anak perlu pendamping, bukan hanya pengawas,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar program digital parenting dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan kegiatan pelatihan guru. Pemerintah daerah, menurutnya, bisa menggandeng psikolog anak dan lembaga sosial untuk memberikan bimbingan bagi keluarga yang menghadapi anak dengan kecanduan game.
BACA JUGA:Prabowo Instruksikan Pramuka dan Karang Taruna Aktif Lagi di Sekolah
Pendekatan Rehabilitatif, Bukan Hukuman
Trubus menekankan pentingnya pendekatan rehabilitatif dan psikososial bagi anak-anak yang sudah kecanduan game. Ia menilai, mereka tidak boleh dijauhi atau dihukum, tetapi diarahkan kembali melalui kegiatan sosial, olahraga, dan kreativitas.
“Anak-anak yang kecanduan game harus dirangkul dan diarahkan, bukan ditakut-takuti,” tegasnya.
Pemerintah, lanjutnya, dapat membentuk pusat pemulihan digital di tingkat kecamatan dengan melibatkan tenaga psikolog dan organisasi kepemudaan. Tempat itu bisa menjadi ruang bagi anak-anak untuk menyalurkan ketergantungan pada aktivitas yang lebih positif.
Pembatasan Sebagai Perlindungan
Terkait pembatasan akses game online, Trubus menilai langkah tersebut sejalan dengan pandangan Presiden bahwa negara wajib melindungi masa depan generasi muda.
“Bangsa yang kuat lahir dari karakter yang sehat. Jadi pembatasan terhadap game kekerasan bukan pembatasan kebebasan, tapi perlindungan terhadap nilai dan moral anak,” katanya.
Ia pun mendorong agar platform game global tunduk pada regulasi nasional yang membatasi jam bermain anak dan mewajibkan verifikasi usia.
“Fokus Presiden jelas yaitu membangun generasi digital yang cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Pemerintah harus hadir memastikan anak-anak tumbuh dengan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan,” tutup Trubus.