JAKARTA, DISWAY.ID - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kembali melontarkan peringatan keras mengenai ancaman serius penyakit Tuberkulosis (TBC) di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), setiap tahunnya, TBC diperkirakan merenggut nyawa hingga 134.000 orang di Indonesia.
BACA JUGA:Menko AHY Tekankan Penguatan Penanganan Darurat atas Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar
Menkes Budi Gunadi menerjemahkan angka tersebut menjadi hitungan waktu yang lebih mengejutkan.
“TBC itu banyak 134.000 setahun. Coba kalau dibagi 365, bagi 24 jam, bagi 60 menit, saya ngomong 5 menit yang meninggal 2 orang,” tutur Menkes Budi Gunadi dalam paparannya, Minggu 30 November 2025.
Menkes Budi Gunadi juga mengungkapkan bahwa jumlah kasus TBC baru di Indonesia setiap tahun diestimasi mencapai sekitar 1.080.000 kasus. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India.
BACA JUGA:PKS DKI Gelar Rakerwil 2025: Tetapkan Program Visioner untuk Solusi Kemajuan Jakarta
Ia bahkan membandingkan tingkat fatalitas TBC dengan pandemi COVID-19. Menurutnya, meskipun pandemi telah berakhir, TBC terus membunuh dalam jumlah yang besar.
"Waktu COVID (kasus yang terdeteksi) itu cuma 400 ribuan. TBC ini jauh lebih mematikan, tetapi karena sudah lama, banyak yang tidak menyadari seberapa serius masalahnya," jelas Menkes.
Deteksi Dini dan Pengobatan Tuntas
Menanggapi tingginya angka kematian ini, Kemenkes fokus pada dua pilar utama untuk mengendalikan TBC: deteksi dini (skrining) dan penyelesaian pengobatan.
• Mengakhiri Under-Reporting: Menkes Budi Gunadi menyoroti adanya under-reporting (kasus yang tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan) yang besar, mirip dengan awal pandemi COVID-19. Jika penderita tidak dideteksi dan diobati, mereka akan terus menularkan penyakit. Pemerintah menargetkan untuk menemukan dan mengobati satu juta kasus TBC pada tahun 2025.
• Inovasi Skrining Cepat: Untuk mempercepat deteksi, Kemenkes terus berupaya mengembangkan dan mendistribusikan alat deteksi TBC generasi baru yang lebih cepat dan mudah diakses, sehingga penemuan kasus bisa dilakukan secara masif di tingkat komunitas, seperti melalui Desa Siaga TBC.
• Mencegah Putus Obat: Tantangan terbesar TBC adalah durasi pengobatan yang lama (minimal enam bulan). Menkes menekankan pentingnya peran pendamping pengawas minum obat (PMO) untuk memastikan pasien TBC tidak putus obat, karena hal itu dapat memicu munculnya TBC Resisten Obat (TB RO) yang lebih sulit dan mahal untuk disembuhkan.