Ian juga menambahkan penggunaan proporsi penduduk muslim justru menimbulkan ketidakadilan.
Sebab, belum tentu provinsi yang memiliki penduduk muslimnya banyak, pendaftarnya banyak.
Karena jumlah pendaftar sebuah daerah tidak hanya ditentukan oleh jumlah penduduk muslim, tapi ada faktor lain seperti sosial ekonomi dan budaya daerah tersebut.
Membagi kuota hanya menggunakan pertimbangan penduduk muslim semata, justru menciderai keadilan baik masa tunggu maupun penggunaan nilai manfaat.
Merespon pernyataan Nizar bahwa ada ketidakpasian pembagian kuota jika menggunakan daftar tunggu, Ian merespon bahwa pembagian kuota menggunakan jumlah penduduk muslim pun tidak memberikan kepastian juga, jika selalu menggunakan data yang diupdate.
"Sebenarny sama saja, jika menggunakan proporsi penduduk muslim dan dilakukan update jumlah penduduk muslim tiap tahu, saya kuotanya juga akan berubah dan masa tunggu akan berubah. Kecuali, hanya diupdate tiap 10 tahun sekali menunggu data sensus penduduk. Update kuota berdasarkan jumlah daftar tunggu juga bisa diperlakukan cukup sekali setahun, cut-offnya setelah musim haji berakhir, atau 5 tahun sekali sesuai periode pemerintahan. Atau tetap selama tidak ada perubahan kuota. jadi sama saja, kalau sama-sama dilakukan update data, pasti akan berubah alokasi kuotanya”, timpal Ian.
BACA JUGA:Kemenhaj Tambah 30 Persen Kuota Petugas Haji Perempuan untuk Posisi Pembimbing Ibadah
Sementara itu, Nizar menyarakan solusi yang tepat moratorium pendaftaran haji sebagai solusi tepat pada daerah yang antriannya lama. Namun tidak bagi Ian, hal ini diniilaii melanggar hak warga negara untuk beribadah.
"Terkait dengan moratorium pendaftaran jemaah haji, tidak sesuai dengan UU 8/2019 dan UU 14/2025 pasal 30 yaitu Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap hari kerja sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. Moratorium pendaftaran haji melanggar hak asasi manusia untuk beribadah karena dia dipaksa kehilangan kesempatan beribadah gara-gara waktu antrian yang lama. Bisa dibayangkan jika selama 3 tahun ke depan, pendaftaran haji di provinsi A harus ditutup karena menunggu antrian sama dengan provinsi lain”. jelasnya.
Selain itu pandangan Ian, moratorium akan membuat banyak jemaah yang pindah domisili seperti halnya ketika terjadi perbedaan masa tunggu yang timpang antar daerah.
Banyak calon jemaah yang pindah domisili hanya karena mencari daerah yang masa tunggunya lebih singkat.
Malmanajemen itu juga opini yang salah menurut Ian. Dengan skema yang lama maka nilai manfaat yang diterima jemaah akan berbeda-beda.
BACA JUGA:BSI Siapkan Layanan Pelunasan Haji 2026, Tangani 81 Persen Calon Jemaah
Sudah ditetapkan fatwa MUI bahwa dengan skema pembagian yang lama, nilai manfaat yang diterima jemaah seharusnya berbeda-beda tergantung masa tunggu.
“Membuat alokasi berdasarkan waiting list dan menjadikan masa tunggu yang sama antar provinsi adalah sebuah ikhtiar untuk rasa keadilan. Seharusnya, kita berpikir dalam semangat NKRI, di manapun jemaah mendaftarn, semua jemaah akan memiliki masa tunggu yang sama”, tutup Ian.