Namun, realitas di lapangan dan narasi di media sosial kerap membentuk persepsi berbeda. Bantuan dari Malaysia dinilai sangat terlihat dan cepat, sehingga menuai apresiasi luas dari masyarakat terdampak. Sebaliknya, bantuan dari pemerintah pusat dianggap kurang terekspos, meski jumlah dan skalanya lebih besar.
Perbandingan juga muncul dengan penanganan bencana di daerah lain, seperti gempa Palu. Saat itu, meski kerusakan dan korban cukup besar, respons pemerintah pusat berjalan tanpa tuntutan status bencana nasional. Masyarakat dinilai lebih sabar dan tidak membangun narasi kemarahan di ruang publik.
Isu status bencana nasional turut menjadi perdebatan. Sejumlah pihak mengingatkan bahwa penetapan status tersebut tidak hanya berdampak pada penanganan bencana, tetapi juga pada stabilitas ekonomi nasional.
Status bencana nasional berpotensi memicu peringatan perjalanan dari negara lain, yang dapat berdampak langsung pada sektor pariwisata, terutama di daerah seperti Bali dan Lombok.
Menjelang musim liburan akhir tahun, kekhawatiran ini dinilai relevan. Pembatalan kunjungan wisatawan asing akibat peringatan internasional dapat memberikan efek domino terhadap perekonomian nasional.
Di tengah polemik ini, banyak pihak menyerukan agar kedua negara menahan diri dan mengedepankan komunikasi yang lebih bijak.
Bantuan kemanusiaan seharusnya tidak menjadi sumber konflik, melainkan memperkuat solidaritas dan hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia yang telah terjalin lama sebagai negara bertetangga.