“Indonesia tidak boleh menjadi objek tarik-menarik kepentingan. Kita harus menerapkan hedging diplomacy, terbuka bekerja sama, tetapi tidak menjadi alat geopolitik pihak mana pun,” tegasnya.
Selain isu global, BKSAP menekankan bahwa keberhasilan diplomasi harus memberi manfaat langsung bagi rakyat.
Karena itu, perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, khususnya pekerja migran, menjadi agenda prioritas politik luar negeri.
Syahrul Aidi menyoroti masih rentannya pekerja migran Indonesia terhadap penipuan, perdagangan manusia, hingga deportasi paksa.
BACA JUGA:Kobbie Mainoo Bakal Membelot ke Napoli, Hubungan dengan Amorim Kian Memanas di Manchester United
BACA JUGA:Jawaban PDIP soal FX Rudy Surati Megawati, Isunya Mundur dari Plt DPD Jateng
Ia mendorong sistem perlindungan WNI yang lebih cepat, modern, dan berbasis perjanjian bilateral yang kuat.
Tak kalah penting, ancaman perubahan iklim dan kebencanaan juga menjadi perhatian BKSAP.
Ia menyinggung banjir besar yang melanda Sumatera sebagai contoh nyata urgensi climate diplomacy dan humanitarian diplomacy, termasuk pemanfaatan teknologi satelit serta akses pendanaan mitigasi global.
“Diplomasi Indonesia ke depan harus memperkuat posisi sebagai pemimpin Global South, berorientasi pada perlindungan rakyat, serta memastikan kerja sama luar negeri memberi manfaat nyata bagi ketahanan energi, pangan, pertahanan, teknologi, hingga ruang siber,” katanya.
Menutup pernyataannya, Syahrul Aidi menegaskan diplomasi parlemen ke depan akan bergerak lebih tegas, berdampak, dan berorientasi pada hasil.
“Indonesia tidak hanya hadir dalam percaturan global, tetapi harus tampil sebagai negara yang diperhitungkan dan dihormati,” pungkasnya.