Anwar Ali

Anwar Ali

--

Inilah smelter nikel pertama yang saya lewati setelah 30 menit meninggalkan bandara Morowali. Yang menonjol bukan pabriknya, tapi kekumuhannya. Kanan-kiri jalan utama poros Sulawesi di tengah smelter modern ini sungguh paradoksnya.

Di sepanjang jalan bangunan darurat mendominasi pemandangan. Tidak terkendali. Kumuh. Berdebu.

Di balik kekumuhan itulah terlihat pembangkit listrik yang besar dan modern. Tiga unit PLTU batu bara berjajar. Di pinggir pantai. Di sebelah pelabuhan khusus milik GNI.

Pabrik smelternya sendiri tidak di pinggir pantai. Lebih dekat ke bukit bahan baku. Antara pabrik dan pelabuhan dipisahkan jalan raya trans Sulawesi.

Itulah smelter terkenal milik perusahaan Tiongkok: PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).

Meski smelter dan pelabuhan dipisahkan jalan raya tapi tidak mengganggu lalu-lintas. Antara smelter dan pelabuhan itu dibangun jalan layang lebar melintas di atas jalan trans Sulawesi.

Maka GNI seperti tidak terusik oleh kekumuhan bawah jalan layang itu.

Ribuan karyawan yang dari luar Morowali memang tidak ada pilihan: harus kos di kanan kiri jalan trans Sulawesi itu. Kebutuhan makan mereka pun dipenuhi oleh pedagang informal di situ.

Inilah kelemahan utama industri yang tidak berada di kawasan industri. Lingkungannya berantakan. Kualitas hidup lingkungannya sangat rendah. Problem ini pernah dialami oleh Batam di awal pembangunannya dulu. Juga terjadi di Kaltim ketika industri kayu lapis mulai bangkit di sana: muncul kampung-kampung kumuh di Loa Janan dan seterusnya.

Kampung kumuh di sekitar GNI ini seperti kota kecil tak berpemerintahan. Semua orang merasa berhak membangun apa saja dengan bangunan seperti seenaknya.

GNI telah jadi gula yang didatangi semut tanpa komando. GNI sendiri ternyata tetap beroperasi. Pun ketika induk GNI telah bangkrut: Jiangshu Delong Nickel Industries.

Rupanya restrukturisasi akibat kebangkrutan itu bisa dilakukan. Induknya bangkrut tapi anak-anaknya yang masih menguntungkan bisa ikut pemilik baru.

Kami terus berkendara menuju ibu kota Morowali: Bungku. Kalau tidak ke sini saya tidak tahu kalau ibu kota Morowali itu bernama Bungku. Masih satu jam lagi di depan.

Tiba di kecamatan Wosu, suami Mega menunjuk satu rumah bagus di pinggir jalan: "itu rumah Pak Anwar Hafid", katanya.

Anwar adalah gubernur Sulteng saat ini. Ia mantan bupati Morowali. Dua periode. Di Pilgub tahun lalu ia mengalahkan Ahmad Ali, politikus Nasdem yang kini jadi ketua harian Partai Solidaritas Indonesia, PSI.

Orang manakah Ahmad Ali?

"Rumahnya di sebelah rumah Anwar Hafid tadi. Hanya selisih lima rumah," ujarnya. Berarti di Pilgub yang lalu dua calonnya tokoh yang bertetangga dekat di Wosu. Anwar dapat suara 48 persen. Ahmad Ali 38 persen. Sisanya untuk gubernur incumbent: Rudy Mastura.

Waktu pencalonan gubernur itu Ahmad Ali masih pakai kendaraan Nasdem. Di kongres PSI setelah itu ia terpilih jadi wakilnya Kaesang Pangarep.

Saya pun mampir ke rumah di seberang rumahnya Ahmad Ali. Rumah berhadapan itu sama bagusnya. Sama modernnya. Sama warna catnya.

Dua rumah berseberangan itu jauh lebih bagus dari rumah Anwar Hafid.

Saya mampir karena tertarik dengan kisah hidup penghuni rumah mewah di seberang rumah Ahmad Ali itu.

Nama pemiliknya: Mohamad Ali. Haji. Umurnya sudah 83 tahun. Tapi ke mana-mana masih naik sepeda motor. Begitu sederhana. Padahal ia orang terkaya di Morowali.

"Masih punya nama Tionghoa?" tanya saya.

"Tidak punya".

"Tapi masih punya marga Tionghoa kan?"

"Masih. Marga saya Thio," jawabnya. Thio adalah bahasa daerah Fujian. Bahasa mandarinnya Zhang (张).

Thio sudah menyatu dengan suku lokal di Morowali. Tidak lagi bisa berbahasa Mandarin.

"Saya lahir di desa sebelah Wosu ini," katanya. Mamanya pun sudah lahir di desa itu. Ayahnya yang masih lahir di Tiongkok.

Waktu saya mampir ke rumah itu, semua pintunya tertutup. Tapi Moh Ali ada di rumah. Saya menunggu di teras. Tidak ada yang berani mengetuk kamarnya.

Tak lama kemudian terdengar azan pertama salat Asar. Seorang staf di rumah itu bilang ke saya: "Itu sudah ada suara azan. Sebentar lagi beliau pasti keluar," ujarnya.

Betul sekali. Ketika Azan belum selesai Thio sudah membuka pintu. Ia tampak kaget, ada tamu. Saya pun diminta masuk ke ruang tamunya yang sangat bagus. Duduk di sofa. Berbincang dengannya.

Saya tahu tidak boleh lama-lama berbincang. Ia sudah harus ke masjid besar yang terlihat dari rumahnya. Masjid itu ia yang membangun. Ia tidak pernah absen salat lima waktu di masjid itu.

Ia praktis tidak pernah bepergian. Belum pernah pergi ke Tiongkok.

"Kenapa selalu pilih naik sepeda motor?".

Ia hanya terkekeh. Ia bercerita memang banyak orang yang mengingatkannya: jangan selalu naik motor sendirian seperti itu. Nanti dirampok.

Ia justru menjawab: apanya yang dirampok. Di saku saya hanya selalu ada uang Rp20.000, cukup untuk isi bensin. Mau ambil motor saya? "Ini motor butut. Siapa yang mau," katanya.

Ia bercerita bagaimana awalnya menjadi kaya. "Jual beli kopra," katanya. Dan itu tidak mudah. Morowali, seperti umumnya Sulteng dan Sulut, adalah penghasil kopra. "Untuk dagang kopra saya harus naik kapal layar dari sini ke Surabaya," kisahnya.

Kapal itu kecil. Terombang-ambing laut yang amat luas. Dari pantai Wosu harus memutar jauh ke bawah. Lewat Buton. Baru ke arah barat menuju Surabaya. Begitu kecilnya kapal itu: hanya bisa mengangkut 1,5 ton kopra.

Dua kali setahun ia menundukkan gelombang laut seperti itu.

Tapi harga kopra memang seperti emas kala itu. Eka Tjipta Wijaya, misalnya, menjadi konglomerat juga berangkat dari dagang kopra. Ketika harga emas baru Rp1.500/gram, harga kopra Rp350/kg. Empat kilogram kopra bisa beli emas satu gram. Sekarang harga kopra Rp20.000/kg. Harga emas Rp2.000.000/gram.

Saya tidak berlama ngobrol dengan orang hebat di Morowali itu. Waktu salat Asar kian dekat. Saya pun pamit. Dari mobil saya lihat: ia sudah naik motornya. Menuju masjid. Ngebut. Saya sampai ketinggalan momentum untuk memotretnya.

Umur 83 tahun, dengan telapak kaki kanan dibalut, ia masih bisa ngebut. "Ini gara-gara sepak bola waktu muda," katanya sewaktu ngobrol tadi.

Sebelum pamit saya motret rumah di depan rumahnya itu. Motretnya dari rumah Moh Ali. Saya lihat pilar tinggi di teras rumah Moh Ali bisa untuk foreground foto rumah di depannya itu. Dengan demikian saya bisa memotret rumah ayah-anak ini dalam satu bingkai foto yang bagus: rumah di depan itu adalah rumah Ahmad Ali, anak Moh Ali.


--

Setelah itu saya mampir ke Taman Kijang milik gubernur Anwar Hafid. Bagus sekali. Kijang lokal. Terkumpul 300 kijang di Taman itu. Taman yang rindang dan anggun, dengan pohon-pohon trembesi yang sudah tua. Anwar Hafid membangun Taman Kijang itu di tengah kebun sawitnya yang luas. Siapa pun boleh ke Taman itu. Gratis. Lebih asyik kalau membawa gabin. Sang Kijang ternyata suka diberi makan gabin oleh pengunjungnya.(Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 18 Desember 2025: Sawit Atas

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

MOROWALI: SAWIT DI ATAS, NIKEL DI BAWAH, DAN TUMPANGAN GRATIS DI ANTARANYA.. Membaca tulisan ini rasanya seperti ikut menumpang mobil Wuling itu—gratis, tak direncanakan, tapi penuh cerita. Dari bandara kecil yang bersih, tarif rental yang bikin mikir dua kali, sampai filosofi hidup khas Indonesia: kalau bisa gratis, kenapa sewa. Yang menarik justru bukan nikelnya. Kita keburu menganggap Morowali = nikel, titik. Padahal di lapangan, dapur warga sudah mengepul jauh sebelum smelter berdiri—oleh sawit. Lima sampai sepuluh hektare per keluarga, itu bukan pekarangan, itu portofolio. Tak heran rumah-rumah kampung tampak rapi: bukan karena subsidi, tapi karena dividen kebun. Tulisan ini mengingatkan bahwa pembangunan tidak selalu datang dari headline nasional. Kadang datang dari hal sunyi seperti kelapa sawit, ikan bakar segar jam 12 siang, dan alumni UGM yang nyambi jadi sopir dadakan. Morowali akhirnya terasa manusiawi: ada bandara, ada warung, ada sawit, ada nikel. Yang satu di perut bumi, yang lain di rekening warga. Lengkap. Tinggal satu yang belum pasti: tujuan perjalanan. Tapi mungkin itu justru inti ceritanya.

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

MOROWALI DAN ILMU TUMPANGAN SOSIAL.. Yang paling kuat dari cerita ini bukan nikel, bukan sawit, tapi budaya “ketemu orang baik di tempat asing”. Belum dijemput, tak tahu tujuan, tapi tetap jalan. Modalnya cuma satu: ngobrol. Hasilnya: tumpangan gratis, makan ikan bakar, dan pemandu lokal tak resmi. Ini Indonesia versi paling organik: jaringan sosial bekerja lebih cepat dari aplikasi. LinkedIn kalah sama teras bandara. Grab kalah sama alumni UGM. Bahkan GPS kalah sama warung ikan. Morowali di sini bukan sekadar lokasi industri, tapi ruang perjumpaan. Kadang yang bikin perjalanan sampai bukan peta, tapi manusia.

DeniK

kalau taat aturan alam akan memberikan kesejahteraan bagi manusia , contoh daerah awalnya hutan ,perusahaan logging masuk tebang pohon sesuai aturan . hutan memberikan dampak ekonomi . setelah logging selesai lanjut dengan tambang , setelah tambang selasai di ubah jadi lahan pertanian/kebun . semua bermanfaat . yang penting taat aturan .mengikuti regulasi . lihat , kebun teh di jawa dan sumatra dahulunya hutan juga di ubah oleh kolonial jadi kebun sudah ratusan tahun dampak ekonomi nya masih kita rasakan sampai saat ini .

rid kc

Wah pak DI sukanya gratisan hahaha. Enaknya ketemu orang baik selalu ditawari tumpangan dan itu udah menjadi ciri khas masyarakat kita. Tidak peduli kenal atau tidak jika ada orang yang kebingungan ditawari tumpangan bahkan diantar.

MULIYANTO KRISTA

Saya tertarik dengan foto pertama. Langsung tak zoom. Ternyata di situ sentra penjual BBM eceran (pertamini). Terus sarana yang digunakan untuk "kulakan" kurang lebih sama dengan di sini yaitu motor Suzuki Thunder. Salah satu varian motor jadul yang harganya melambung karena volume tangkinya yang besar sehingga paling enak digunakan untuk "menguras" isi tangki pendam SPBU merah. .. . #kreatifitas warga +62

yea aina

Bukan hanya di Morowali saja, orang yang punya kebun sawit 5-10 hektar, ekonominya tampak lebih sejahtera. Terlihat dari rumah-rumah yang baru dipugar. Di negeri ini segelintir orang menguasai konsesi kebun sawit ribuan hektar, bahkan puluhan hingga ratusan ribu hektar. Mungkin berkali lipat sejahtera dengan kekayaan yang dimiliki dari hasil panen sawit. Hagimana tidak kaya raya, kebun luas diperoleh dari konsesi pemerintah. Diagunkan ke bank pemerintah agar dapat pinjaman untuk modal tanam sawit, sekaligus bangun pabrik pengolahan CPOnya. Berbsnis dengan "penguasa" memang sangat menguntungkan. Cukup modal dengkul berupa koneksi ordal, bisa terbuka lebar menjadi tajir melintir. Apalgi kalau uang hasil kebun konsesi, dipakai membiayai kampanye politik dan berhasil lolos menjadi bagian di pemerintahan. Statusnya akan meningkat, berbisnis dengan diri sendiri. Mau tambah konsesi lahan bisa diatur. Pun menaikkan plafon pinjaman bank plat merah untuk modal usaha, semua dengan mudah bisa diatur. Di negeri ini, jabatan dan kekuasaan politik, bisa dengan mudah menjamin kelancaran bisnis dan cuan gede.

istianatul muflihah

Alarm Kesehatan Sebagai orang yang tidak gemar memakai aksesoris, memakai jam tangan dalam 6 bulan terakhir adalah sebuah prestasi kecil. Hahaha. Hal yang mungkin sepele saja ya. Tapi menurut saya, jam kecil ini jadi alarm kesehatan. Berawal dari pertemuan dengan seorang apoteker senior dari RS Soetomo pada Februari 2025 yang bercerita tentang program dietnya. Dari BB 90 - 100 an kg ke 60-70 an kg. Beliau cerita beberapa orang yang bertemu banyak yang bertanya, "sakit apa pak?" Bapak itu jawab, "tidak sakit apa apa, justru saya sedang sehat sehatnya." Program penurunan BB itu berawal dari warning hasil MCU. Nilai HbA1C nya sudah menuju diabetes. Pilihannya ekstrim mengubah pola hidup atau minum obat diabet. Beliau pilih yang pertama. Dan disiplin melakukannya. Saat ketemu beliau, saya lihat cemilannya kacang rebus. Sudah tidak tergoda makan roti, goreng goreng an, atau makanan yang terlihat lezat namun tidak berlabel sehat. Pertemuan kedua dengan seorang apoteker, yang sekaligus dosen, yang bercerita kalau kena diagnosis auto imun. Setelah saya menyimak kisahnya, salah satu ciri autoimun berawal dari nilai kadar vitamin D yang rendah dalam darah. Sebuah pengingat, untuk semangat menjalani hari hari dengan sadar pada alarm diri. Pakai jam tangan yang bisa ngecek heart rate, jumlah langkah, dan kualitas tidur. Setidaknya bisa jadi ikhtiar untuk (bismillah) sadar diri.

Murid SD Internasional

Pertanyaannya sekarang... 

Kenapa Harus Anda, Para Pelaku Industri Biskuit?

Jawabannya sederhana: karena tidak ada industri lain yang lebih siap, selain Anda.

Anda telah membangun:

- lini produksi biskuit yang masif,

- sistem fortifikasi nutrisi teruji,

- standar keamanan pangan level nasional bahkan mungkin level internasional,

- jaringan logistik yang solid dari kota besar hingga pelosok,

- brand trust yang sudah kuat di masyarakat.

Siapa lagi yang bisa? Hanya Anda.

Ini bukan tetang produk baru.

Ini tentang mengisi kekosongan pangan strategis nasional.

Kemudian...

MANFAAT BESAR BAGI PERUSAHAAN

Selain menjadi kontribusi nyata bagi kemanusiaan dan bagi negara, proyek pangan darurat ini juga akan menjadi sebuah langkah bisnis strategis:

1. Anda menjadi pemasok resmi BPNB dan Kemensos. Ini pasarnya tidak kecil. Stok pangan darurat nasional harus selalu tersedia jutaan pack per tahun.

2. CSR yang langsung berdampak pada nyawa jutaan manusia. Bukan sekadar simbolis, tapi benar-benar konkret, terukur, dan berjangka panjang.

3. Mengukuhkan posisi Anda sebagai pemimpin industri pangan di Indonesia. High Energy Biscuit dua varian skala nasional ini akan menjadi benchmark baru, di Indonesia.

4. Potensi ekspor ke negara rawan bencana di seluruh Asia hingga Afrika. Jika Indonesia memimpin, dengan dua varian distingtif yang belum pernah ada ini, dipastikan dunia akan melihat Anda.

Dan, hal yang paling penting...

MOMENTUM INI TIDAK AKAN DATANG DUA KALI.

Murid SD Internasional

((((Simulasi Realistis)))) Misal, ada 1 desa terisolir, dengan penduduk 300 orang, plus akses jalan tertutup longsor. Dengan Beras: - Butuh 300kg beras (berat, amit-amit). - 10 relawan harus kuat bawa 10-15kg sekali jalan. - Perjalanan bolak-balik berkali-kali melelahkan. - Masak beras menjadi mustahil pula ketika kompor, air, dan LPG tidak tersedia. Dengan High Energy Biscuit: - 300 orang x 2 pak (100gram) per hari = 30kg. - 30kg = 25 dus (@1,2kg x 25 dus). - 2 relawan bisa bawa semuanya dalam 1 trip perjalanan. Ini perbedaan diametral yang membuat angka korban kelaparan bisa turun signifikan. Sehingga, High Energy Biscuit dua varian ini, exactly solusi Indonesia. Kita tidak boleh lupa, Indonesia itu: - kontur geografinya sulit, - banyak desa berpotensi terisolir tatkala bencana, - listrik pasti padam tatkala bencana, - air bersih bisa jadi tidak tersedia, - banyak relawan harus jalan kaki, - plus ditambah potensi cuaca buruk, ...sehingga, panganan berat seperti beras dan mie instant, menjadi bantuan pangan pertama, yang tidak tepat. Nah, High Energy Biscuit versi Indonesia ini, bisa menyelesaikan semua problem di atas, dengan cepat.

Murid SD Internasional

Catatan Teknis! Untuk standar High Energy Biscuit (HEB) ala WFP, satu dus biasanya berisi: - 24 pak, - setiap pak isi 50 gram, - total berat 24 x 50 gram = 1,2 kilogram per dus. Kenapa 1 dus (24 pak)? - 1 dus cukup untuk satu keluarga kecil selama minggu awal bencana. - Ukurannya pas untuk distribusi cepat oleh BNPB, TNI, relawan. - Tidak terlalu berat untuk diangkut atau ditaruh di motor. Sekarang, kita bandingkan. Perbandingan Berat: Beras vs High Energy Biscuit (HEB). 1. Beras (Standar) - 5kg per karung kecil. - 10kg hingga 25kg untuk karung reguler. - Relawan yang manggul jalan kaki = potensi encok. - Butuh air, kompor, LPG, an waktu masak hingga 30 menit. - Kalori bisa turun jika masaknya tidak sempurna. 2. High Energy Biscuit (1 dus = 1,2kg) - Relawan bisa pikul 5 dus sekaligus, cuma 6kg. - Tidak perlu air panas (varian manis). - Varian tawar bisa cukup dicelup air mineral sedikit untuk bayi/balita/lansia. - Relawan bisa jalan cepat 5-10km membawa beberapa dus sekaligus. - Kalori langsung tersedia, tanpa dimasak. - Stabil 18-24 bulan, tahan cuaca panas dan udara lembap. Ini bukan cuma soal gizi, ini soal kecepatan menyelamatkan nyawa dalam 72 jam pertama, kala bencana dan pasca bencana.

Murid SD Internasional

High Energy Biscuit (HEB) dari WFP ini telah menolong jutaan korban krisis pangan tatkala bencana, seperti bencana di Bangladesh (2007), di Georgia (2008), di Kenya (2008), di Haiti (2010), di Libya / Tunisia (2011), di Karibia (2017), dan di Afghanistan (2024). High Energy Biscuit (HEB) ini unggul lantaran: - bisa langsung cepat dikonsumsi, - kaya energi, penuh kalori, vitamin, nutrisi, - memiliki efek kenyang cukup lama - tahan kadaluwarsa, - mudah didistribusikan secara massal. Sehingga, kepingan High Energy Biscuit (HEB) ini sangat cocok, untuk para korban bencana, agar tidak mengalami bencana kedua setelah bencana alam yang menimpa, yakni bencana kelaparan, manakala dapur-dapur umum belum bisa didirikan. Nah, hingga hari ini, Indonesia belum memiliki produk skala nasional yang berfungsi sebagai "high energy emergency food", alias sebagai logistik pangan darurat super praktis, yang sejatinya sudah dimiliki banyak negara aman bencana maupun negara rawan bencana lainnya sejak tahun 1990 hingga 2000-an. Kita, Indonesia, telah tertinggal jauh. Maka, ini adalah kekosongan peran, yang hanya bisa bisa diisi oleh Anda, para pelaku industri biskuit nasional Indonesia.

Murid SD Internasional

SURAT TERBUKA UNTUK SELURUH PELAKU INDUSTRI BISKUIT DI INDONESIA. Perihal: Kesempatan Emas Menjadi Pionir Pangan Darurat di Indonesia. Yang terhormat, seluruh pelaku industri biskuit di Indonesia. Indonesia adalah negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Kita hidup di garis patahan yang membuat bencana alam tidak lagi menjadi sebuah kemungkinan, melainkan menjadi sebuah keniscayaan, bahkan kepastian. Setiap tahun, ratusan ribu hingga jutaan penduduk Indonesia harus bertahan di 72 jam pertama pasca gempa, banjir bandang, tanah longsor, atau erupsi gunung berapi, di mana di saat yang sama: - dapur umum belum siap, - logistik masih terhambat / kerap terlambat, - listrik terputus / padam total, - dan masyarakat hanya bisa mengandalkan panganan apapun yang bisa langsung dimakan. Di titik paling genting itulah, panganan darurat yang aman, cepat, dan padat energi, menjadi salah satu penolong utama keselamatan nyawa, dari hipoglikemia, lemas, dan kelaparan. *** Sekilah High Energy Bisccuit (HEB) Dunia sudah memiliki organisasi logistik pangan skala global / raksasa, yaitu World Food Program (WFP), yang didirikan tahun 1961. Di tahun 1990-an, WFP memiliki satu panganan standar resmi, untuk didistribusikan tatkala suatu negara mengalami krisis pangan atau terdampak bencana, bernama High Energy Biscuit (HEB), biskuit kemasan sachet yang tiap kepingnya berbasis gandum, penuh protein, kaya lemak nabati, dan full mikronutrien.

ra tepak pol

sekedar menambahkan tulisan Murid SD Internasional tentang makanan, minuman, paket darurat yang sudah standard internasional. Yang tertinggal hanyalah niat pemegang kekuasaan mempersiapkannya. Makanan yang disimpan di dalam liferaft (rakit penolong) dirancang khusus sebagai ransum darurat (emergency rations) untuk bertahan hidup di laut. Berdasarkan standar internasional SOLAS (Safety of Life at Sea), berikut rinciannya: 1. Jenis Makanan (Emergency Food Rations) Makanan ini biasanya berbentuk biskuit padat atau blok tablet yang dipadatkan (compressed food). Karakteristik utamanya: • Bahan Utama: Terbuat dari tepung gandum, lemak nabati, gula, dan maltosa. • Kandungan Gizi: Kaya akan kalori (karbohidrat dan lemak) serta diperkaya dengan vitamin (C, B1, B6) untuk menjaga energi tanpa memicu rasa haus berlebih. • Tekstur: Padat namun mudah dikonsumsi langsung atau dicampur air. 2. Standar dan Persyaratan SOLAS • Energi: Setiap orang di dal

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 43

  • DeniK
    DeniK
  • Hasyim Muhammad Abdul Haq
    Hasyim Muhammad Abdul Haq
  • Muh Nursalim
    Muh Nursalim
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
  • ALI FAUZI
    ALI FAUZI
  • Jokosp Sp
    Jokosp Sp
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
  • nur cahyono
    nur cahyono
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
  • Juve Zhang
    Juve Zhang
  • Lègég Sunda
    Lègég Sunda
    • Lègég Sunda
      Lègég Sunda
  • DeniK
    DeniK
  • MULIYANTO KRISTA
    MULIYANTO KRISTA
  • istianatul muflihah
    istianatul muflihah
    • istianatul muflihah
      istianatul muflihah
  • heru pujihastono
    heru pujihastono
  • Muhammed Khurmen
    Muhammed Khurmen
    • firman ilyas
      firman ilyas
  • Jhel_ng
    Jhel_ng
  • djokoLodang
    djokoLodang
  • djokoLodang
    djokoLodang
  • alasroban
    alasroban
  • Sugi
    Sugi
  • Denny Herbert
    Denny Herbert
  • Ima Lawaru
    Ima Lawaru
  • bitrik sulaiman
    bitrik sulaiman
  • djokoLodang
    djokoLodang
    • Denny Herbert
      Denny Herbert
  • rid kc
    rid kc
  • Pedro Patran
    Pedro Patran
  • DeniK
    DeniK
  • Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
    Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
  • Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
    Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
  • Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
    Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
    • Denny Herbert
      Denny Herbert
  • djokoLodang
    djokoLodang
  • djokoLodang
    djokoLodang
  • MZ ARIFIN UMAR ZAIN
    MZ ARIFIN UMAR ZAIN
  • ra tepak pol
    ra tepak pol
    • MZ ARIFIN UMAR ZAIN
      MZ ARIFIN UMAR ZAIN