JAKARTA, DISWAY.ID - Dalam keseharian, keluarga yang mapan sering terlihat aman secara finansial seperti memiliki rumah yang layak, pendidikan yang baik untuk anak, dan gaya hidup yang stabil.
Namun di balik stabilitas tersebut, ada “vulnerability gap” atau celah kerentanan yang justru tidak banyak disadari.
Celah ini muncul karena kemapanan sering dianggap setara dengan keamanan, padahal keduanya tidak selalu berjalan beriringan.
Semakin mapan sebuah keluarga, semakin kompleks risiko yang dihadapi.
BACA JUGA:Liburan Nataru Lebih Nyaman, Ini Rekomendasi Mobil Bekas Ideal untuk Keluarga
Risiko finansial yang lebih besar, ketergantungan pada penghasilan utama, gaya hidup yang tinggi, hingga pengelolaan aset lintas generasi menjadi tantangan tersendiri.
Tanpa strategi perlindungan yang tepat, kemapanan ini bisa rentan terhadap perubahan yang tidak terduga.
BACA JUGA:13 Contoh Pesan dan Kesan Natal 2025 Penuh Doa untuk Keluarga hingga Sahabat
Berikut beberapa penyebab utama tingginya vulnerability gap pada keluarga di Indonesia:
1. Ketergantungan pada satu figur high performer
Banyak keluarga Indonesia yang bergantung pada satu pencari nafkah utama. Ketika pendapatan keluarga bertumpu pada satu figur, risiko finansial meningkat signifikan. Jika sesuatu terjadi pada pencari nafkah ini, bukan hanya stabilitas finansial yang terganggu, tetapi juga keberlangsungan kehidupan keluarga, bahkan rencana jangka panjang anak-anak.
Dalam banyak kasus, keluarga belum menyiapkan perlindungan memadai untuk memastikan pengganti penghasilan (income replacement) yang setara dengan standar hidup mereka.
BACA JUGA:Wuling Darion EV dan PHEV, MPV 7-Seater Nyaman dan Aman untuk Keluarga Indonesia
2. Gaya hidup yang meningkat seiring penghasilan
Keluarga yang mapan umumnya memiliki cost of living yang tinggi, seperti biaya sekolah premium, cicilan aset besar, perjalanan rutin, hingga lifestyle maintenance. Semua ini membuat kebutuhan dana darurat dan perlindungan finansial harus proporsional dengan standar hidup tersebut.
Namun kenyataannya, banyak keluarga belum mengukur “biaya hidup sebenarnya.” Akibatnya, ketika risiko terjadi, keluarga langsung merasa tertekan karena cadangan dana maupun proteksi yang ada tidak cukup menutup kebutuhan gaya hidup yang sudah terlanjur tinggi.
BACA JUGA:Sapa Pengungsi Korban Banjir di Langkat, Prabowo: Kalian adalah Keluarga, Tidak akan Kami Tinggalkan
3. Aset banyak, namun tidak likuid
Kemapanan biasanya tercermin dari aset: properti, bisnis keluarga, investasi jangka panjang. Namun sebagian besar aset tersebut bersifat tidak likuid—tidak bisa langsung dicairkan ketika ada kebutuhan mendesak. Proses balik nama properti, likuidasi bisnis, atau penjualan aset membutuhkan waktu panjang dan biaya administrasi yang tidak sedikit.