Da Mama

Minggu 21-07-2019,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

Daya tahan demonstran Hongkong tak terkira. Tapi daya tahan polisi juga luar biasa.
 
Betapa tahan sabarnya. 
 
Padahal sudah 28 orang polisi terluka. Termasuk ada yang kehilangan ujung jarinya. Minggu lalu.
 
Pun tenang saja. Menghadapi demo besar-besaran nanti sore. 
 
Polisi tidak merencanakan represif. Hanya minta rutenya diperpendek sedikit. Dan bubarnya jangan tengah malam. Jam 9 malam diminta sudah selesai.
 
Selama 38 hari ini mereka terus berdemo. Memang masih kalah dengan rangkaian demo pada 2014: 70 hari. Tapi sampai hari ini belum ada gejala berhenti.
 
Dari 38 hari itu yang sangat besar dua kali: satu juta orang turun ke jalan. Sisanya ratusan ribu. Atau puluhan ribu. Atau ribuan.
 
Hanya ada 4 demo selingan. Salah satunya disebut 'demo rambut putih'. Yakni demonya generasi tua. Untuk mendukung demo anak muda itu.
 
Dua lagi demo selingan. Dari kelompok yang mendemo pendemo. Dua minggu lalu. Dan Sabtu kemarin.
 
Satu selingan lagi: demo ribuan orang melawan satu orang wanita. Wanita itu digelari 'Da Ma' (??). Mama Besar. Bukan badannya yang gendut. Tapi umurnya yang sudah 60-an tahun. Dan suaranya yang keras: selalu pakai pengeras suara.
 
Pekerjaan Dama (baca: ta ma) itu menyanyi. Solo. Di sebuah taman. Di dekat perumahan bertingkat. Tiap hari. Dianggap mengganggu ketenangan perumahan itu.
 
Terutama ketenangan ibu-ibu rumah tangga.
 
Pakaian Dama itu selalu seronok. 
 
Banyak suami mereka yang datang ke taman itu. Mengajak Dama berdansa. Lalu menyelipkan uang di balik bra-nya.
 
Sabtu kapan itu lebih 1000 emak mendemo Dama. Tapi ada seorang kakek yang berani menghadang pendemo itu. Kakek itu merasa terganggu: dansanya. Terjadilah cekcok. Kian banyak emak yang melawan kakek itu. Sampai si Dama lari. Ngumpet di toilet umum.
 
Emak-emak pun mengepung toilet itu. Sampai polisi datang. Dama dibawa pergi.
 
Taman itu menjadi sunyi. Tidak ada lagi Dama di sini. Pulang ke Tiongkok.
 
Generasi muda Hongkong mengincar 'Dama' yang lain: Carrie Lam. Agar mengundurkan diri. Dari jabatannya sebagai pemimpin tertinggi Hongkong. Wanita itu dianggap keras kepala. Tidak mau mencabut usulannya: RUU ekstradisi.
 
Carrie Lam tidak mau Hongkong menjadi surga penjahat. Kriminal. Maupun koruptor. Yang sering bersembunyi di Hongkong.
 
Kalau RUU itu disahkan Hongkong bisa mengirim penjahat itu ke negara asal.
 
Pendemo curiga: UU itu akan bisa dipakai di bidang politik. Aktivis anti Tiongkok bisa dikirim ke Beijing. 
 
Carrie Lam memang sudah mengalah: menunda pembahasan rancangan undang-undang itu. Bahkan pernah menyatakan usulan itu sudah praktis mati. 
 
Tapi pendemo masih menghendaki agar jangan hanya ditunda. Harus dicabut dari parlemen. Atau Carrie Lam meletakkan jabatan.
 
Sudah begitu panjang dan besar demonya. Termasuk nanti sore. Mulai jam 15.00. Dengan sasaran pengadilan tertinggi. Harapan mereka: pengadilanlah yang akan membuat putusan: mengabulkan tuntutan mereka.
 
Tuntutan itu kini kian panjang. Termasuk pembebasan semua demonstran yang ditahan. Prinsip mereka: ini masalah politik. Penyelesaiannya juga harus politik. 
 
Polisi tidak bisa memenuhi tuntutan seperti itu. Ini masalah pelanggaran hukum. Misalnya saat mereka menghancurkan kaca-kaca gedung parlemen (Lihat DI's Way:Brian Leung). Atau menyerang polisi. Di Hongkong, hukum dan politik sangat terpisah.
 
Tentu polisi juga tidak ingin bentrok dengan pendemo. Yang dijamin oleh hukum. Tapi polisi juga belajar banyak dari bentrokan sebelumnya.
 
Mulai Jumat sore polisi sudah benah-benah. Semua pagar besi dicabut. Yang di sepanjang jalan rute demo. Rambu-rambu lalu-lintas juga disingkirkan.
 
Alasan polisi: ini prosedur biasa. Begitulah setiap ada acara besar. Agar lebih banyak orang bisa tertampung di jalur itu.
 
Perkiraan media, nanti sore itu demonya bisa mencapai satu juta lagi.
 
Alasan aktivis: pagar itu dicabut agar tidak digunakan oleh pendemo.
 
Selama ini pendemolah yang mencabut pagar. Untuk barikade. Dihadang kan di tengah jalan. Lalu dimajukan sedikit demi sedikit. Mendorong polisi kian mundur.
 
Sabtu kemarin polisi juga membuat tembok. Terbuat dari blok-blok plastik besar. Berisi air. Ditumpuk setinggi dua meter.
 
Tembok darurat itu dibangun memutar. Mengelilingi markas besar polisi. Yang lokasinya di tengah rute demo. Polisi tidak ingin ada bola liar. Yang membuat pendemo masuk ke kantor polisi. Apalagi berhasil menduduki kantor polisi. 
 
Bagian administrasi juga diminta waspada. Mengamankan dokumen-dokumen rahasia. Berkas-berkas perkara. Mengunci ruangan. Mematikan lift.
 
Pendudukan gedung parlemen dua minggu lalu tidak boleh terjadi di kantor polisi.
 
Polisi menyatakan ini: akan seminimal mungkin terlihat di sepanjang rute. Tapi sejak Jumat lalu bagian cyber-nya terus bekerja. Meningkatkan pemantauan lalu-lintas medsos. Terutama yang dari kelompok garis keras.
 
Kian brutalnya demo sepekan terakhir membuat banyak yang was-was. Apakah demo sore nanti juga akan ricuh. Dan akan terjadi penahanan-penahan lagi.
 
Sebagian aktivis sudah lari ke Taiwan. Sudah sekitar 50 orang. Mereka menghindari penahanan. Mereka minta perlindungan di Taiwan.
 
Presiden Taiwan, Tsai Ing-Wen, sudah menegaskan: akan melindungi mereka. Dari lokasi lawatannya di Karibia Ing-wen terus mengikuti perkembangan di Hongkong.
 
Sebagai presiden yang ingin Taiwan merdeka Ing-wen jelas: berusaha mengambil hati aktivis di Hongkong. 
 
Tapi ada juga masalah. Bagaimana status orang-orang itu. Minta suaka? Pengungsi? Taiwan bukan anggota PBB. Taiwan memang salah satu anggota pendiri PBB. Di tahun 1945. Tapi sudah dikeluarkan dari PBB. Di tahun 1971. Setelah dunia hanya mengakui Tiongkok. Dengan prinsip One China Policy
 
Taiwan. Hongkong. Amerika. Tiongkok. Iran. Kian ruwet saja. Bermula pada 2014. Sebelum ada DI's Way. Sejak Donald Trump tidak suka pidato humor Barack Obama. Yang keesokan harinya saya tulis dengan tertawa-tawa.(Dahlan Iskan)
 
 
 
Tags :
Kategori :

Terkait