Kashmir Mikir

Sabtu 10-08-2019,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

Pikiran saya melayang jauh. Setiap menjelang Idul Adha seperti ini. Ke negeri yang kini lagi bergeser: India. 
 
Di sana kerukunan beragama selalu tergores. Di sekitar Idul Adha. Begitu krusialnya.
 
Yang satu kelompok merasa bahagia. Bila bisa menyembelih sapi.
 
Yang satu kelompok lagi merasa tersinggung. Bila ada sapi disembelih. 
 
Saya tidak pernah menemukan gagasan bagus. Atau pemikiran baru. Khususnya bagaimana cara menyelesaikan masalah itu. 
 
Orang Islam sangat minoritas di India. Sejak Pakistan menjadi negara terpisah dari India. 
 
Meski minoritas, ajaran agama harus dipraktikkan. Termasuk menyembelih sapi. Untuk ibadah kurban. Atau kambing. Atau onta. 
 
Penganut Hindu, di India, mayoritas mutlak. Pun secara politik. Lagi berkuasa. Menguasai parlemen. Dan pemerintahan. 
 
Mereka selalu mempertanyakan: mengapa Tuhan mereka disembelih. Sapi adalah kendaraan Tuhan umat Hindu. Yang sudah dianggap menyatu dengan Tuhan. Sampai ada hari raya sapi. Tiap bulan April. Tanggal 13.
 
Ok. Kalau penyembelihan itu dilakukan di negara lain. Yang umat Hindunya minoritas. Tapi ini terjadi di India. 
 
Maka begitu banyak konflik di sana. Yang latar belakangnya soal penyembelihan sapi ini.
 
Rasanya inilah problem antar agama yang paling pelik. Tidak ada yang lebih pelik dari itu. Islam dan babi, misalnya. Bisa diatasi. 
 
Misalnya yang makan babi tinggal di negara yang mayoritas Islam. Ia tetap bisa makan babi. Tanpa menyakitkan yang mengharamkannya. Makan babinya bisa diam-diam. Di dalam rumah masing-masing.
 
Misalkan yang mengharamkan babi hidup di negara pemakan babi. Masih bisa cari makanan halal. Tanpa menyakitkan yang makan babi. 
 
Pun soal suara azan yang dikeraskan. Bisa diatasi. Di negara yang mayoritas muslim, minoritasnya bisa menerima. Sebagian mungkin terpaksa menerima. Sebagian lagi ikhlas menerimanya. Ada juga yang pilih pindah rumah. Agar agak jauh dari masjid. Tapi tidak sampai bertengkar. Kecuali yang tidak terlalu waras. 
 
Gus Dur paling pinter mengajak minoritas agar bisa menerima azan. Lewat kehebatan humornya. 
 
Banyak yang datang ke Gus Dur. Baik dari kalangan Kristen maupun Konghuchu. Mengeluhkan suara azan yang dikeraskan itu. 
 
Gus Dur pun menjawab dengan guyon khasnya. Yang membuat tamunya tidak jadi komplain. 
 
Kata Gus Dur: Kalian itu harus bersyukur. Hubungan kalian dengan Tuhan kalian begitu dekat. Yang Kristen memanggil Tuhannya Bapa. Seperti ke bapaknya sendiri. Tuhannya orang Konghucu juga begitu dekat. Cukup dipanggil lewat asap dupa. Tanpa suara...
 
Itu memang hanya humor. Tapi bisa membuat kalangan minoritas menerima azan yang dikeraskan.
 
Saya tidak sempat bertanya pada Gus Dur: senjata apa yang akan beliau pakai. Kalau beliau harus merukunkan Islam dan Hindu di India. Terutama soal penyembelihan sapi itu.
 
Sekarang ini suasana di sana kian sensitif. Sejak partai BJP menang pemilu.
 
Partai BJP sangat religius. Dulu selalu kalah. Sebelum membawa ideologi agama. Namun sejak mengibarkan bendera sebagai pembela Hindu suaranya naik.
 
Lima tahun lalu mengalahkan Partai Kongres. Yang sekuler. Tiga bulan lalu menang lagi. Lebih mutlak lagi.
 
Kini minoritas Islam merasa tidak aman. Ada yang pindah. Ke daerah yang banyak penduduk Islamnya. Menjadi satu kantong Islam. Di daerah yang lingkungan mayoritasnya Hindu.
 
Sejauh ini India masih bukan negara Hindu. Resminya: negara sekuler. Tapi arus bawah kian deras: menghendaki segera menjadi negara Hindu. 
 
Itu sudah dituangkan dalam tema kampanye yang lalu. Yang bisa mendulang kian banyak suara. 
 
Memang penggantian itu harus lewat perubahan konstitusi. Tapi itu tidak sulit. Setelah parlemen mutlak dikuasai BJP.
 
Tanda ke arah sana pun kian jelas. 
 
Senin kemarin pemerintah mengeluarkan dekret: mencabut keistimewaan Provinsi Kashmir. Yang mayoritas Islam. 
 
Dekret itu pun segera berlaku. Tinggal menunggu pengesahan parlemen. 
 
Yang itu juga tidak sulit.
 
Kecuali para aktivis prodemokrasi bergerak. Didukung para ahli hukum. Tapi BJP juga menggunakan jalur hukum dan demokrasi.
 
Jalan pikiran pemerintah singkat: kalau otonomi Kashmir dicabut, segera berakhirlah konflik di sana. Yang begitu berkepanjangan. Yang tercampur dengan keinginan Kashmir merdeka.
 
Saya pernah merasakan ketegangan itu. Saat ke Kashmir dulu.
 
Bisa juga Kashmir kian tidak aman. Tidak akan stabil. Perlawanan di Kashmir akan meluas. Hari-hari juga tidak menentu. Seluruh medsos diblokir oleh pemerintah India. 
 
Apa yang akan berubah? Kalau otonomi Kashmir resmi berakhir?
 
Intinya: semua orang India menjadi boleh membeli tanah di Kashmir. Siapa saja. Dari mana saja.
 
Selama ini, orang luar tidak boleh membeli tanah di Kashmir. 
 
Menurut UU otonomi, hanya orang provinsi itu yang boleh beli tanah di Kashmir. Yang Hindu pun boleh. Asal asli Kashmir.
 
Yang disebut asli Kashmir adalah yang lahir dari bapak-ibu Kashmir.
 
Bagaimana kalau wanita Kashmir kawin dengan pria luar daerah? Hilanglah hak ke-kashmir-annya. Anak-anak mereka pun tidak berhak membeli tanah di Kashmir. Juga tidak boleh dapat warisan tanah di Kashmir.
 
Itu mirip dengan yang terjadi di negara bagian Kelantan Malaysia. Yang di sana berlaku hukum Islam. Partai Islam Pas-lah yang menguasai Kelantan. Aturannya juga seperti Kashmir itu. 
 
Hari-hari ini lagi panas di India. Terutama di Kashmir. Oleh dua gagasan itu. 
 
Pertama, gagasan mengubah konstitusi --menjadikan India  negara agama. Seperti di tetangganya --Pakistan.
 
Kedua, soal dicabutnya otonomi Kashmir itu. 
 
Pun Pakistan ikut panas. Langkah baru India itu dinilai ada udang di balik batunya: ingin mengubah komposisi penduduk Kashmir. Agar tidak lagi mayoritas Islam.
 
Saya sangat prihatin. Usaha pendekatan antara India dan Pakistan seperti terganjal lagi.
 
Gus Dur baiknya hidup kembali.(Dahlan Iskan)
 
 
 

Tags :
Kategori :

Terkait