JAKARTA, DISWAY.ID - Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi negara berkembang mencapai 8,7 persen pada 2022 atau tumbuh dari realisasi tahun sebelumnya, 5,9 persen.
Selain itu, IMF juga menaksir inflasi negara maju 5,7 persen tahun ini atau lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya 3,1 persen.
First Deputy Managing Director IMF Gita Gopinath mengungkapkan, terjadinya lonjakan inflasi lantaran invasi Rusia ke Ukraina.
BACA JUGA:Jumlah Uang Beredar di Masyarakat Tembus Rp7.810,9 Triliun pada Maret 2022
Terlebih, sanksi terhadap Rusia atas konflik kedua negara menyebabkan gangguan dalam pasar komoditas global.
"Kenaikan harga energi dan pangan menambah tekanan inflasi di saat tekanan inflasi sudah cukup tinggi di banyak negara di dunia," kata Gopinath dalam Side Event G20 High Level Discussion dikutip dari Antara, Jumat 22 April 2022.
Sebelum konflik Rusia dan Ukraina, inflasi sudah terkerek karena pandemi covid-19.
Imbasnya, banyak bank sentral di dunia yang memperketat kebijakan moneter, salah satunya dengan meningkatkan bunga acuan.
BACA JUGA:WHO Rekomendasikan Pil Antivirus Covid-19 Paxlovid Buatan Pfizer, Cegah Masuk RS
Kenaikan suku bunga acuan dapat menimbulkan risiko bagi negara berkembang jika terjadi pengetatan moneter yang sangat cepat di negara maju.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan biaya pinjaman untuk negara berkembang naik dan meningkatkan risiko arus modal keluar.
"Risiko stabilitas keuangan yang timbul dari perang benar-benar menguji ketahanan sistem keuangan dan pasar," ungkapnya.
Menurut Gopinath, inflasi juga bisa menimbulkan kerusuhan sosial di banyak negara.
"Selain itu, masih terdapat pula risiko lainnya seperti varian baru covid-19 yang menyulitkan berbagai negara," imbuhnya.
BACA JUGA:Ini Komentar Erik ten Hag yang Bikin Donny van de Beek Bisa Jadi Pilihan Utama di MU