SUFISME Islam tiada lain kisah-kisah tentang kezuhudan Rasulullah saw. Zuhud adalah sikap batin dan perilaku lahir tentang kesederhanaan. Tentu sangat jauh dari perkembangan perilaku mutakhir generasi milenial, ‘para sultan’ muda yang suka memamerkan hedonisme dan kemewahan. Lebih-lebih masyarakat kita yang masih jauh dari kesejahteraan.
Sufisme menyajikan latihan untuk memiliki jiwa yang sederhana, jauh dari hedonisme dan kemewahan, namun bukan berarti seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus hidup di bawah garis kemiskinan. Hidup sederhana berbeda jauh dari hidup miskin. Sufisme Islam mengajarkan kesederhanaan bukan kemiskinan. Mengajarkan kedermawanan bukan bermewah-mewahan.
Abu Abdullah Muhammad Az-Zuhri, dalam kitabnya at-Thabaqat al-Kabir, mengutip riwayat Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah SAW berhari-hari tidur dalam keadaan lapar, tidak ada makan malam, dan rata-rata roti makanannya adalah gandum. Atau, riwayat dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW mengganjal lambungnya dengan batu untuk menahan lapar.
BACA JUGA:Sufisme, Ajaran Murni Islam Bukan Bid’ah
Abu Zuhri juga mengutip riwayat dari Anas bin Malik ra., tentang Fatimah ra. yang pada suatu malam menghadap ayahnya, baginda Rasul, dengan membawa sepotong roti. Rasul bertanya: apa itu, Fatimah? Fatimah menjawab: sepotong roti yang saya tidak berkenan, karenanya saya membawakannya pada Anda. Rasul bersabda: "sungguh ini adalah makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari terakhir" (Az-Zuhri, 1957: 1/400).
Sebagai seorang pemimpin agama dan negara, Rasulullah saw mengajarkan kesederhanaan, dengan tidak memiliki makan malam. Jika pun ada yang akan dimakan, itu hanya berupa roti gandum yang kasar. Dan jika pun beliau makan, itulah makanan pertama setelah tiga hari tidak makan. Untuk menahan lapar, Rasul mengganjal perutnya dengan batu.
Dengan mencontohkan hidup yang sederhana dan selalu lapar, Rasulullah SAW ingin mengajarkan arti penting untuk tidak terikat cinta duniawi. Bukan berarti mengajarkan kemiskinan dan menghindari kekayaan. Hal itu bisa dilihat dari sabdanya yang lain, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang keinginan tertingginya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan hidupnya, menjadikan kefakiran hadir tepat di depan matanya, dan ia hanya akan mendapatkan dunia sesuai apa yang sudah ditakdirkan untuknya. Dan barang siapa yang akhirat sebagai tujuannya, Allah akan mengutuhkan urusan hidupnya, menjadikan hatinya kaya, dan kekayaan duniawilah yang menginginkan orang itu." (Sunan Ibnu Majah, Kitab az-Zuhd, No. 4105).
Ada perbedaan yang jelas antara seseorang yang berambisi memperoleh kekayaan duniawi dan seseorang yang dihampiri kekayaan duniawi tiada habis-habisnya. Kezuhudan yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah tidak mencintai kenikmatan duniawi, dan biarkanlah kenikmatan duniawi yang mengejar-ngejarnya. Harta kekayaan duniawi akan mengejar seseorang yang hatinya sudah terpaut pada Allah SWT.
Bukti hati manusia yang terpaut pada Allah akan dibuntuti terus-menerus oleh kekayaan duniawi adalah para sahabat Nabi. Mereka antara lain: Abdurrahman bin 'Auf, dengan total kekayaan saat wafat 3.200.000 dinar atau enam triliun dua ratus dua belas miliar enam ratus delapan puluh depalan juta. Az-Zubair bin Awwam dengan total kekayaan 57.600.000 dirham atau tiga triliun lima ratus empat puluh tiga miliar tujuh ratus dua puluh empat juta delapan ratus ribu rupiah.
Utsman bin Affan memiliki kekayaan 30 juta dirham atau Rp 1.845.690.000.000; tirkah sebesar 150.000 dinar sekitar Rp 291.219.750.000; sedekah sebesar 200.000 dinar sekitar Rp 388.293.000.000; dan untar 1000 ekor sekitar Rp 7.740.000.000. Totalnya dua triliun lima ratus tiga puluh dua miliar sembilan ratus empat puluh dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.
Thalhah bin Ubaidillah yang memiliki total kekayaan lima ratus empat puluh dua miliar seratus juta lima ratus ribu rupiah. Dan Sa'd bin Abi Waqash yang memiliki kekayaan senilai 250 dirham atau Rp 15.380.750.000. Kelima nama sahabat nabi ini, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi no. 3748, termasuk dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga.
Untuk itulah, kezuhudan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang dijamin masuk surga bukanlah kemiskinan, melainkan terputusnya hati dari kecintaan pada harta duniawi. Kyai Ihsan Jampes, Kediri, mengutip Imam asy-Syibli yang mengatakan bahwa zuhud adalah tidak menginginkan selain Allah (Ihsan Jampes, Sirajut Thalibin 'ala Mihjadil 'Abidin ila Jannati Rabbil 'Alamin, 2006: 1/171).
Mengesampingkan segala selain Allah tidak saja harus dilakukan oleh orang miskin. Orang kaya raya, hartawan, miliarder, pun bisa melakukannya dengan tidak mencintai harta benda yang dimilikinya. Sebaliknya, orang miskin kadang juga tidak mampu melepaskan kecintaan di hatinya akan duniawi. Orang miskin kadang tersiksa oleh keinginan untuk hidup kaya, tetapi tidak mampu meraih kekayaan tersebut. Itulah yang dimaksud sabda Rasulullah saw dalam riwayat Ibnu Majah di atas.
Sufisme dibangun di atas dasar-dasar kezuhudan yang diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya ini. Banyak para waliyullah yang hidup kaya raya, seperti Syeikh Abdullah bin Mubarak, Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili. Jadi, sufisme tidak identik dengan kemiskina. Sufisme erat kaitannya dengan kezuhudan, yaitu kondisi hati yang kosong dari selain Allah. Prinsip ini penting, terutama bagi kaum milenial yang selalu dihantui oleh budaya asing berupa hedonisme. (*)