Sufisme, Ajaran Murni Islam Bukan Bid’ah
KH Imam Jazuli Lc--
SUFISME bukan ajaran bid'ah seperti yang selama ini dituduhkan. Pada beberapa aspek memang terbuka dalam mengadopsi pencapaian peradaban dan kebudayaan besar dunia; Persia, India, Yunani, Judaisme dan Nashrani. Namun, sisi paling substansial dari SUFISME adalah ajaran murni Islam. Louis Massignon mengatakan, SUFISME lahir dari kedawaman membaca Alquran, merenungkan kandungannya, serta mempraktikkannya dalam hidup (Massignon, 1954: 104-105).
Pencapaian para Sufi dalam pemikiran keislaman yang ilmiah itu lahir dari ketekunan membaca, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Islam. Pencapaian semacam itu lazim terjadi bahkan hingga zaman kita hari ini. Di zaman tatkala humanisme menjadi nilai universal di seluruh dunia, maka para pengkaji ayat-ayat Alquran akan dengan mudah mendapatkan ajaran tentang humanisme.
BACA JUGA:Sufisme Islam dan Pengaruh Tradisi Yahudi-Nasrani
Begitu pula, bila para pengkaji Alquran menghayati ayat demi ayat dengan cakrawala demokrasi, sosialisme, atau nilai-nilai universal lainnya, mereka pasti mendapati ayat al-Quran berbicara topik yang sama. Hanya karena nilai-nilai universal di awal-awal kebangkitan sufisme Islam berupa ajaran Neo-Platonisme, Emanasi, Unity of Being (Wahdah al-Wujud), Kerohanian, Kezuhudan, Cinta Kasih, dan lainnya, maka Kaum Sufi menemukan ayat-ayat Alquran yang berbicara itu semua dalam perspektif Islam.
Reynold Alleyne Nicholson mengatakan, senadainya seluruh pengaruh asing (kerahiban Suryani, Neoplatonisme Yunani, Mazdakiah Persia, Wedanta Hindu, dan seterusnya) maka tidak mungkin bisa dijelaskan dalam pembahasan yang lebih panjang lebar. Sebaliknya, pembentukan pemikiran-pemikiran Sufistik sudah sempurna dari dalam (internal Islam), melalui pembacaan dan perenungan yang mendalam terhadap Alquran dan al-Hadis, serta pengaruh struktur dan suprastruktur kehidupan sosial masyarakat muslim sendiri.
Beberapa ajaran tasawuf yang murni di gali dari ajaran Islam, antara lain, adalah tentang filsafat cahaya (al-Nur) atau api (al-Nar) yang menunjuk pada Allah. Filsafat cahaya ini berbeda sama sekali dari filsafat emanasi neo-Platonis. Filsafat cahaya ala Islam diambil dari ayat Alquran yang berbunyi:
“Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: "Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan,” (Qs. al-Qashash: 29).
Dan ayat yang berunyi: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam,” (Qs. al-Qashash: 30).
Atau, ayat berikut: “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (Qs. Al-Nur: 35).
Ayat-ayat Emanasi (isyraqiyah) dan cinta kasih (wujdiyah), para Sufi mengutip surat ad-Dhuha, 6-11: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”.
Dengan ayat-ayat suci di atas, para Sufi membangun teologi yang menggunakan diksi api (cahaya) dan cinta kasih kemanusiaan. Selain itu, Para Sufi juga sering menggunakan diksi "Burung" sebagai simbol "kebangkitan manusia" dari kematian. Hal itu diambil dari Surat Al-Baqarah ayat 260, yang membicarakan keinginan Ibrahim as untuk melihat bagaimana Allah menciptakan makhluk hidup.
Allah meminta Ibrahim untuk menyembelih empat burung, kemudian menebarnya di berbagai puncak gunung. Saat itulah, Allah menunjukkan proses penciptaan kepada Nabi Ibrahim as. Berikutnya, para Sufi juga sering menggunakan diksi Cawan Minuman, yang berarti itu simbol keselamatan. Diksi ini diambil dari ayat 171-8 surat al-Waqi'ah, ketika berbicara orang-orang penghuni surga yang dilayani oleh para bidadari untuk menikmati segala hidangan makanan dan minuman.
Tentang ajaran Suluk, para Sufi mendasarkannya pada ayat 37 surat Qaf, yang berbunyi: “Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” Atau, "Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam?" (Qs. at-Taubah: 109).
Tentang baik dan buruk, tentang hati yang tulus dan yang munafik, para Sufi menyandarkan ajaran mereka pada ayat 264-265 surat al-Baqarah, di mana Allah melarang umat mukmin yang bersedekah menyakiti hati orang yang menerima sedekah tersebut. Tindakan menyakiti penerima sedekah adalah tindakan orang munafik yang hanya pamer, bukan karena iman pada Allah dan hari akhir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: