Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli

Mukasyafah, Musyahadah, dan Tajalli

KH Imam Jazuli Lc--

SEORANG Sufi yang menekuni Suluk pada giliranya akan sampai pada kondisi Ahwal, setelah memenuhi tahan-tahap maqomat sebelumnya. Di antara Ahwal dalam sufisme itu antara lain: mukasyafah, musyhadah, dan tajalli. mukasyafah berarti tersingkapnya tabir penghalang antara manusia dan Tuhan, sehingga keduanya bisa saling bertatap muka atau musyahadah. Dalam kondisi musyahadah itulah, Allah ber-tajalli atau menampakkan diri-Nya di hadapan makhluk-Nya.

Makna istilah-istilah sufistik seperti mukasyafah, musyahadah, dan tajalli memiliki makna yang berbeda tipis. Mukasyafah ini adalah satu dimensi antara muhadharah dan musyahadah. Muhadharah dulu terjadi, baru setelah itu mukasyafah, dan selanjutnya musyahadah. Muhadharah adalah kesadaran dan kehadiran hati. Muhadharah ini kadang terjadi setelah seseorang banyak menguasai bukti-bukti dan dalil argumentasi.

BACA JUGA:Syauq dan Uns

Setelah mengalami mudharah, seseorang akan mengalami mukasyafah, yaitu kehadiran hati dengan segala kejelasan yang diperolehnya, sehingga hati tidak perlu lagi berpikir dan merenungi dalil-dalil. Pada saat itulah, hati memperoleh kejelasan yang begitu terang-benderang. Setelah mukasyafah ini, seseorang akan mengalami musyahadah. Yaitu, kehadiran Tuhan. Menurut Imam Junaid al-Baghdadi, musyahadah adalah kehadiran wujud Tuhan dengan hilangnya wujudmu sendiri.

Dengan begitu, orang yang mengalami muhadharah, ia akan terus-menerus terikat dengan ayat-ayat al-Quran. Orang yang mengalami mukasyafah, ia terikat dengan hamparan sifat-sifat Tuhan. Sedangkan orang yang mengalami musyahadah, ia sendiri menjadi wadah bagi manifestasi dzat Tuhan. Umar bin Utsman al-Makki mengatakan, musyahadah ini adalah datangnya pancaran cahaya tajalli secara bertubi-tubi ke dalam hati seseorang, tanpa terhalang oleh tabir apapun atau terputus sekejap pun (Imam al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal wa al-Muwasshil ila Dzi al-Izzah wa al-Jalal, Jam'iah al-Buhuts fi al-Qiyam wa al-Falsafah, Washington, USA, 1999: 260).

Dengan begitu, mukasyafah adalah kondisi awal seseorang terhubung dengan dimensi spiritual. Ketika ia memasuki kondisi mukasyafah, maka saat itu ia bisa masuk ke dimensi atau tahapan berikutnya, yaitu musyahadah atau memandang langsung kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada makhluk disebut Tajalli.

Mukasyafah itu sendiri terbagi menjadi tiga macam: pertama, mukasyafah melalui ilmu pengetahuan. Seseorang dianggap mengalami mukasyafah dengan ilmu apabila pemahaman, perenungan, dan pendapatnya dapat meraih kebenaran. Kebenaran sainsitifk disebut mukaysafah bi al-'ilm.

Kedua, mukasyafah dengan Ahwal. Apabila seseorang mampu melihat adanya peningkatan Hal yang dialaminya, sehingga ia merasa ahwal-nya jauh lebih banyak dan lebih baik dari sebelumnya, maka itu disebut mukasyafah bi al-hal.

Ketiga, mukasyafah dengan perolehan. Seseorang yang mendapatkan anugerah berupa makna-makna melalui isyarat-isyarat yang didengarnya selama mengalami mukasyafah, maka itu disebut mukasyafah bi al-wajdi (Muhammad bin Abdul Qadir Kailani, Abwab at-Tasawuf, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2010: 267).

Dengan kata lain, jenis-jenis mukasyafat di atas dibedakan berdasarkan objeknya. Mukasyafah tentang objek sainstifik disebut mukasyafah bil ilmi. Mukasyafah karena perkembangna ahwal spiritual, maka disebut mukasyafah bil hal. Sedangkan mukasyafah karena mendapatkan perolehan kebenaran isyarat maka disebut mukasyafah bil wajdi. Jadi, mukasyafah ini terjadi lebih dulu dari pada musyahadah.Namun begitu, ada pandangan berbeda dari Asy-Sya’rani tentang keutamaan mukasyafah dan musyahadah.

Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani mengatakan; mukasyafah itu terkait dengan makna-makna, sedangkan musyahadah berkaitan dengan dzat-dzat. Musyahadah itu untuk mendapatkan sesuatu yang diberi nama, sedangkan mukasyafah hanya untuk nama-nama saja. Karena itulah, mukasyafah menurut kami jauh lebih utama dari pada musyadahah, kecuali musyahadah-nya adalah musyadah Dzat, maka tentu itu musyahadah jauh lebih utama dari mukasyafah (Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya'rani, Lawaqih al-Anwar al-Qudsiah al-Muntaqat min al-Futuhan al-Makkiah li Muhyiddin Ibni Arabi, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2015: 2/198).

Di sini, Asy-Sya’rani lebih berhati-hati untuk mengatakan kemungkinan musyahadah terhadap dzat Allah. Seandainya pandangan para sufi itu benar, tentang kemungkinan musyahadah dzat Allah, maka menurut asy-Sya’rani itu adalah musyahadah yang jauh lebih baik dari mukasyafah. Karena mukasyafah berurusan untuk menyingkap hal-hal yang kasar, dan musyahadah menyingkap hal-hal yang lebih halus. Dzat Allah adalah hal paling halus, karenanya musyahadah dzat Allah jauh lebih utama dari mukasyafah.

Dalam kondisi seseorang sedang musyahadah, setelah sebelumnya menglmani mukasyafah, maka saat ituah Allah bertajalli. Tajalli adalah munculnya Dzat Allah dan sifat-sifat ilahiah. Jadi, tidak mungkin ada musyahadah tanpa terjadi tajalli (Muhammad Ali at-Tahanawi, Mawsu'ah Kasysyaf Isthilahat al-Funun wa al-Ulum, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1996: 1/385). Dengan kata lain, ketika seseorang masuk ke dalam kondisi musyahadah, maka sasat itu Allah ber-tajalli.

Tajalli Allah tidak harus berupa tajalli dzat, bisa juga tajalli asma’ ilahiah. Tajalli Dzat ini merangkum seluruh bentuk tajalli. Karenanya, Allah bisa ber-tajalli dengan cara lain selain tajalli dzat. Tetapi, ketika tajalli dzat ini terjadi, maka tajalli yang lain akan tertutupi. Seperti saat matahari di langit muncul, maka cahaya bintang-bintang tertutupi. Walaupun bintang itu ada tetapi cahayanya tertutupi cahaya matahari (Muhammad Ali At-Tahanawi, 1996: 1238).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: