Koalisi Perubahan; Satu Potret Asal-usul Pemikiran dan Gerakan

Koalisi Perubahan; Satu Potret Asal-usul Pemikiran dan Gerakan

Ustadz Bakhtiar Nasir dan KH Imam Jazuli LcMA di Cirebon. Foto kanan, Habib Rizieq Shihab dan Muhaimin Iskandar. -Dokumentasi Harian Disway-

SEJAK periode kedua Joko Widodo di pemerintahan, atmosfer politik Indonesia membaik. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang semula rival, bergabung dalam kabinet. Memori indah ini akan selalu dikenang. Menjadi imaji ideal, lampu penerang, sebelum menentukan pilihan untuk pemilu-pemilu berikutnya.

Sampai sekarang, panggung 2024 seakan hanya akan diisi tiga tokoh besar. Satu pemain lama Prabowo Subianto. Dua pemain baru; Anies Rasyid Baswedan dan Ganjar Pranowo. Anies sudah mendapatkan pasangannya, Abdul Muhaimin Iskandar. Prabowo dan Ganjar masih saling penjajakan.

Sejatinya cukup produktif apabila Ganjar berani maju sendiri. Bangsa kita mampu mencetak dua tokoh terbaik, masih fresh, belum berpengalaman di Pilpres, dan muda. Lain cerita apabila Ganjar memilih jalan pragmatis, menjadi subordinat Prabowo. Kita tinggalkan sementara kisah mereka berdua.

Yang unik jalan ninja Anies Rasyid Baswedan di dunia politik. Dalam pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, Anies maju didukung koalisi PKS dan Gerindra. Kini didukung koalisi PKS dan Nasdem sebagai bakal calon presiden. Berpasangan dengan Ketum PKB.

Konsekuensinya, sangat mudah orang membaca Anies identik dengan PKS. Partai paling setia pendukung Anies. Identitas PKS yang melekat pada Anies semula datar-datar saja. Berkoalisi dengan partai Nasdem sama halnya dengan berkoalisi dengan partai Gerindra.

Identitas Anies-PKS menjadi lebih viral ketika berkoalisi dengan PKB. Tampaknya lebih dikarenakan faktor penggunaan media sosial yang massif. Dulu, PKB berkoalisi dengan PKS pada Pemilu 1999 untuk mengusung KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilu 2009 nyatanya tidak viral.

Dua Faktor Viralitas Koalisi PKS-PKB

Nama PKS melejit drastis pada taraf internasional semenjak Pilgub DKI Jakarta. Banyak media internasional (BBC, Aljazeera, The Guardian, etc.) menyayangkan PKS yang mengusung Anies Baswedan memanfaatkan isu agama. Politik identitas menjadi isu panas yang dibahas setiap kali perbincangan politik.

Muncullah figur-figur lama dengan panggung baru. Salah satunya dia yang dipanggil Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IB HRS), tokoh Front Pembela Islam (FPI). Disebut figur lama, HRS telah banyak bersentuhan dengan Gus Dur dalam dunia politik. Gus Dur pun secara humoris menjuluki HRS “teroris lokal”.

Disebut mendapat panggung baru, HRS mampu mengantarkan Anies Baswedan menjadi Gubernur Jakarta. Padahal, semenjak era SBY sampai Jokowi, HRS sudah terbiasa keluar masuk penjara. Salah satunya divonis 1,5 tahun penjara atas kasus penyerangan Monas pada 1 Juni 2008.

Dari kilasan tersebut, keputusan PKB berkoalisi dengan PKS menghidupkan kembali ingatan publik, terutama politik identitas di tahun 2017. Citra PKS terlanjur identik dengan FPI, dan FPI identik dengan HRS. HRS berseberangan jalan dengan Gus Dur dan NU. Terkubur sudah fakta politik PKS-PKB kerap berkoalisi di beberapa Pemilu.

Selain itu, faktor lain tidak langsung adalah pilihan kepemimpinan NU di bawah KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), yang tegas ingin menjauhkan PBNU dari partai politik manapun, termasuk PKB yang notabene “anak kandung”. Dari kalangan elite sampai akar rumput, warga Nahdliyyin sulit memahami keputusan PKB berkoalisi dengan PKS.

Tidak mudah memahamkan grass roots bahwa PKB-PKS sering berkoalisi sebagai strategi pemenangan. Ingatan yang kuat tertanam adalah bahwa NU memiliki manhaj harakah yang berbeda dari PKS, PFI, Alumni 212 dan jaringannya. Lebih-lebih akses publik atas informasi politik identitas di media sosial yang pernah dimainkan PKS, FPI, etc., jauh lebih mudah daripada tentang masa-masa PKB-PKS pernah mesra.

Variabel Berpengaruh-Signifikan Kiai Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: