Kewalian Sebagai Pewaris Kenabian
KH Imam Jazuli Lc--
SUFISME Islam mengajarkan konsep tentang derajat kewalian. Konsep ini digali dari ayat-ayat Alquran, antara lain: ayat 257 surat al-Baqarah, ayat 68 surat Ali Imran, dan ayat 19 surat al-Jatsiah. Dalam ayat-ayat ini, istilah Wali disebut dengan terang. Dari ayat-ayat inilah, konsep kewalian (wilayah) dikembangkan dalam tradisi intelektual SUFISME.
Secara bahasa, wilayah (kewalian) bermakna an-nushrah atau pertolongan, al-'ianah atau bantuan, dan al-mahabbah atau cinta (Ibnu Ma'sum Sayyid ali Khan al-Madani, Riyadhus Salikin fi Syarhi Shahifah Sayyid as-Sajidin, Muassasah an-Nasyr al-Islami, Qum, 1415 H.: 1/104). Dari sini saja, seorang waliyullah pastilah orang yang mendapatkan pertolongan dan bantuan langsung dari Allah. waliyullah pasti mencintai Allah, dan Allah mencintainya.
BACA JUGA:Syeikh, Murid, dan Tarekat
Menurut Ibnu Ma'sum, seorang waliyullah itu mengetahui hakikat-hakikat ilahiah, mengenali dzat dan sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya, melalui cara mukasyafah dan musyahadah. Karena pengertian waliyullah begitu, dan Ibnu Ma'sun sendiri adalah seorang syi'ah, maka waliyullah adalah seorang Imam (Ibnu Ma’sum, 1415 H.: 1/407).
Berbeda halnya dalam pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah. Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Ulama Ahlussunnah Salafi, mengatakan bahwa para waliyullah itu adalah orang-orang mukmin, para Rasul, para sahabat dan orang-orang mengikuti Nabi dengan baik, orang yang bertakwa dan beriman, taat pada Allah dan Rasulullah. Mereka semua adalah para Waliyullah, baik dari suku Arab, Ajam, berkulit putih atau hitam, kaya atau miskin, rakyat atau penguasa, perempuan ataupun laki-laki (Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu'ah Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Dar al-Qasim Riyadh, 1420 H.: 6/325).
Dengan begitu, konsep Ahlussunnah wal Jamaah dan syi’ah berbeda dalam hal memaknai arti waliyullah. Bagi syi’ah, seorang walliyullah adalah para Imam mereka. Sedangkan Ahlussunnah mengatakan, waliyullah bisa berasal dari mana saja, bukan saja orang Arab tetapi juga Ajab (non-Arab), kulit putih atau kulit hitam, laki-laki ataupun perempuan. Selama mereka menaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia bisa disebut waliyullah.
Para waliyullah ini memiliki banyak karomah. Namun, jika karomah mereka terlihat manusia maka mereka merasa sedih. Abu Sa'id Umar bin Abdullah al-Qursyi mengatakan, siksaan bagi para Nabi adalah terhentinya wahyu, siksaan bagi para waliyullah adalah terlihatnya karomah mereka, dan siksaan bagi orang mukmin adalah lalai dalam ibadah.
Menurut Muhammad bin Mubarak Ash-Shuwari mengatakan, maqomat para waliyullah itu ada sepuluh; pertama, memikirkan Allah dan menunggu apa yang akan datang dari Allah padanya. Kedua, dia akan berbahagia bila mendapatkan apa yang dinantikannya dari Tuhan. Ketiga, berpegang teguh pada kebenaran. Keempat, menjauhi kebatilan. Kelima, selalu sabar dalam setiap keadaan dan ujian apapun. Keenam, dia bersikap zuhud dan selalu mencari yang halal dan menghindari yang haram. Ketujuh, hatinya selalu merindukan surga.
Kedelapan, dia menunggu masa pembebasan dari kehidupan dunia melalui kematian. Sebab, kematian dipahami sebagai proses berjumpa dengan Allah. Kesembilan, dia selalu menemani orang-orang yang malang dan papa. Dan kesepuluh, berbicara dan duduk bersama orang miskin, untuk mencarikan solusi bagi penderitaan mereka (Gerhard Böwering dan Bilal Orfali, Salwat al-ʻārifīn wa-uns al-mushtāqīn: The Comfort of the mystics: a manual and anthology of early Sufism, Brill, 2015: 294).
Dengan demikian, seorang waliyullah tidak saja dilihat dari ketaatannya menjalankan ibadah mahdhdha dalam hubungannya dengan Tuhan. Dia juga menjalankan ibadah sosial, menunjukkan kepedulian atas nasib orang-orang miskin dan papa. Seorang waliyullah tidak akan berpangku tangan dalam melihat ketimpangan sosial, apalagi kemiskinan rakyat disebabkan oleh pemikinan atau sistem yang tidak adil.
Sedangkan Yahya bin Muadz mengatakan, seorang waliyullah adalah tangannya Allah, yang membentangkan kebaikan dan siksa kepada makhluk (Bowering dan Ofrali, 2015: 294). Artinya, seorang waliyullah akan menjadi pertolongan bagi orang-orang miskin. Sedangkan terhadap orang-orang yang zalim, waliyullah akan menjadi ancaman. Walilyullah akan bertindak mewakili Tuhan di muka bumi.
Dzun Nun al-Mishri mengatakan, seorang waliyullah itu akan mendapatkan pertolongan dari Allah. Bahkan, Allah berfirman: "seandainya wali meminta pada-Ku untuk menghancurkan dunia ini, pasti Aku kabulkan" (Bowering dan Ofrali, 2015: 294). Karena itulah, tidak heran bila para ulama dan kiai pesantren sejak dulu kala menjadi lawan dari penjajahan, lawan dari penguasa yang zalim terhadap rakyat.
Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: al-‘ulama waratsatul anbiya’. Para ulama adalah para pewaris Nabi (HR.Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Malah). Para Nabi sendiri menjadi contoh dalam melawan para penguasa yang zalim, seperti Nabi Musa as menghadapi Fir’aun. Atau, seperti Nabi Isa as yang melawan tradisi Yahudi, yang terbiasa membunuh para Nabi.
Warisan para Nabi bukanlah emas dan dirham. Bukanlah kekayaan bendawi. Melainkan Ilmu pengetahuan. Para ulama adalah mereka yang paling otoritatif dalam bidang ilmu. Sedangkan para waliyullah mendapatkan ilmu langsung dari Allah Swt. Karenanya, para waliyullah atau para ulama adalah para pewaris Nabi. Pewaris ini tidak harus keturunan Nabi langsung, tetapi siapa saja yang paling banyak mengusai ilmu. (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: