Alquran dan Tafsir dalam Pemahaman Sufistik

Alquran dan Tafsir dalam Pemahaman Sufistik

KH Imam Jazuli Lc--

UMAT muslim mayoritas memahami Alquran sebagai pedoman hidup manusia di dunia hingga akhirat. Cara pandang ini benar, namun bukan satu-satunya. Sufisme menghadirkan makna yang lebih dalam dari sekadar menjadikan Alquran sebagai sumber hukum.

Para Sufi memandang Alquran sebagai media bermunajat pada Allah. Dengan membaca Alquran, seorang Sufi sedang menghadirkan seluruh kesadaran diri dan hatinya di hadapan hadirat ilahiah, dengan tawadhu' dan khusyu', penuh perenungan dan pemahaman yang mendalam. Para Sufi menempatkan dirinya sebagai komunikan (lawan bicara, mukhatab) pada setiap ayat Alquran.

BACA JUGA:Cincin Para Wali

Abu Thalib al-Makki mengatakan, "membaca Alquran adalah makanan hati. Seorang hamba akan memberikan perhatian penuh terhadap kata-kata Tuhan, mendengarkan rahasia pada setiap ayat, hati menyaksikan makna-makna pada sifat-sifat-Nya, menyaksikan kekuasaan-Nya, melepaskan diri dari kekuatan dan daya upayanya sendiri, mengagungkan Dzat Yang Berfirman, merasa butuh pada pemahaman yang utuh,"( Abul Ula al-Afifi, at-Tasawuf wa al-Tsawrah ar-Ruhiah fi al-Islam, Dar al-Ma'arif, Mesir, 1993).

Dengan begitu, jarak antara sufi yang sedang membaca Alquran dan Allah yang berfirman terasa semakin dekat. Sufi merasa dirinya sendirilah yang menjadi komunikan/mukhatab dari Allah Swt., seakan-akan Alquran sedang diturunkan saat itu juga. Dalam kondisi batin semacam ini, sufi merasa sedang diajak bicara lansung oleh Allah Swt. Batin sufi dan teks Alquran berdialog secara lebih hidup.

Ini pula alasan mengapa pemahaman kaum Sufi terhadap Alquran tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai Tafsir Alquran, sebab pemahaman tersebut tidak dibangun di atas kaida-kaidah tafsir yang suda mapan. Pemahaman kaum Sufi juga tidak didasarkan pada konsekuensi-konsekuensi linguistik pada umum. Sebab, pemahaman sufi didasarkan pada hasil riyadhah ruhani dan pemahamannya merupakan anugerah langsung dari Allah Swt (Ghanim Qadduri al-Hamad, Muhadharat fi 'Ulum Alquran, Dar Ammar, Jordan, 2003: 207).

Karena pemahaman kaum Sufi saat membaca Alquran tidak dibangun pada kaidah tafsir dan linguistik pada umumnya, kita bisa menyebut tafsir sufi itu sebagai tafsir isyari. Kata “isyari” berarti mengandung isyarat-isyarat, yang mistik dan abstrak. Hal ini lumrah terjadi, seperti saat dua manusia sedang berdialog. Pemahaman yang dibangun dari dialog tersebut berasal dari pemahaman langsung, tanpa perlu penafsiran yang ribut, metodologis, dan hermeneutis. Ini pula yang terjadi ketika Sufi sedang membaca Alquran, yang merasa sedang bercakap langsung dengan Allah swt.

Cara para Sufi membaca Alquran, memahaminya, dan merumuskannya memang berbeda dari tradisi tafsir yang sudah ada sebelumnya, yaitu tafsir bil ma’tsur, memahami makna Alquran dengan mengandalkan pemahaman atas hadits. Atau, tafsir bil ma’qul, memahami makna Alquran engan pendekatan rasionalitas dan ilmiah. Tafsir Isyari dari kaum Sufi memahami al-Quran berdasarkan anugerah langsung dari Allah, yang ditanamkan dalam hati bersih nan suci mereka.

Dari sinilah banyak kritik yang dilayangkan untuk menyerang tradisi tafsir Isyari tersebut. Misalnya, anggapan bahwa tafsir kaum sufi mengandung pemikiran filosofis yang tidak ada hubungannya dengan sifat wara' dan kezuhudan mereka. Bahkan, ajaran kaum sufi banyak yang berseberangan dengan ajaran dan akidah Islam. Contoh mufassir filosofis sufistik ini adalah Ibnu Arabi, pengarang Tafsir Ibnu Arabi dan Fushush al-Hikam (Manna'ul Qaththan, Mabahits fi 'Ulum Alquran, Maktabah Wahbah, Kairo, 1983: 346).

Kritik terhadap produk tafsir Sufistik memang logis bila dilihat dari kacamata ilmiah, yaitu ilmu tafsir, hermeneutika, dan linguistik. Sebab, tafsir isyari kaum sufi ini memang tidak bersandar pada semua hal tersebut, kecuali bersandar langsung kepada anugerah-anugerah ruhaniah dari Allah dalam membaca Alquran. Kaum sufi tidak menempatkan teks-teks Alquran sebagai objek material yang bisa dipahami dengan pendekatan ilmiah. Teks Alquran adalah firman Allah yang pemahaman atasnya hanya datang dari Allah swt sendiri.

Dengan tidak menempatkan Alquran sebagai objek material untuk membangun analisis-analisis ilmiahnya, para sufi menempatkan Alquran sebagai pijakan kehidupan ruhaniah mereka. Teks Alquran tidak dipakai untuk membangun konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan, melainkan sebagai fondasi-fondasi kehidupan spiritual (Reynold A. Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islami wa Tarikhuhu, terj. Abul Ula al-Afifi, Wikalah as-Shahafah al-Arabiah, 2021: 109).

Untuk itulah, kritik-kritik ilmiah terhadap produk tafsir isyari dari kaum sufi tidak sepenuhnya benar. Karena kritik yang benar hanya kritik yang dibangun di atas metodologi yang sama. Seperti pepatah, kritik tersebut tidak “apple to apple”. Tidak sepadan, tidak imbang, dan tidak adil. Sebab, di sisi lain, produk tafsir isyari berdasarkan anugerah langsung dari Allah kepada hati jernih bersih kaum sufi.

Kritik lain yang juga sering dilayangkan kepada produk tafsir isyari adalah bahwa pemahaman tersebut diambil dari mazhab syi'ah Ismailiah. Ihsan Ilahi Dzahir mengatakan, pemahaman kaum sufi bahwa haji adalah simbol penghindaran seorang hamba terhadap maksiat, ihram adalah bentuk melepaskan seluruh syahwat dan kenikmatan, semua itu diambil dari mazhab batiniah Isma'iliah (Ihsan Ilahi Dzahir, at-Tasawuf: al-Mansya' wa al-Mashadir, Idarah Tarjuman as-Sunnah, Lahore, Pakistan, 1987: 161).

Padahal, seperti yang sudah dibahas pada artikel-artikel sebelumnya, kaum sufi memahami Alquran dengan cara pandang pancapaian sains pada masanya, namun pemahaman tersebut adalah anugerah langsung dari Allah. Karenanya, walaupun ada kemiripan dengan produk pemikiran universal di zamannya, hal itu bukan berarti ada hubungan keterpengaruhan. Karena metode kaum sufi adalah metode pembacaan dan perenungan terhadap Alquran. Di saat-saat seperti itulah, kaum sufi mendapat anugerah langsung dari Allah tentang arti Alquran yang sebenarnya. Selain itu, pemahaman sufi atas Alquran tidak ditujukan semata untuk konsepsi pengetahuan, melainkan sebagai fondasi dasar bangunan spiritual mereka. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait