Syauq dan Uns
KH Imam Jazuli Lc--
SUFISME Islam memperkenalkan berbagai maqom di mana level spiritual seseorang dapat dimengerti, salah satunya adalah asy-syauq (rindu) dan al-unsu (nyaman). Perasaan rindu ini lahir setelah seseorang telah sempurna mahabbah dan ma'rifatnya. Sedangkan al-unsu ini lahir dari asy-syauq. Kenyamanan terus-menerus bersama Allah muncul setelah rindunya tak terbendung pada Allah. Karena nyaman itulah maka rindu tidak pernah padam.
Berbeda halnya dengan mahabbah dan ma’rifat, seseorang yang rindu pada Allah sudah sempurna cinta dan ma’rifat-nya. Kerinduan itu disebabkan oleh ketidakinginan untuk berpisah dari Allah, walaupun sekejap mata. Abu Yazid al-Bustomi pernah mengatakan, “tidak ada siksaan yang lebih pedih dari pada lupa pada Allah,” (Isa bin Hasan al-Halabi, Ilmu al-Yaqin fi Adab al-Mutshawwifin: 'an Kitab al-Arab fi al-Adab, Muassasah Ula, Sana'a, 1995: 14).
Seseorang yang hanya jatuh cinta pada Allah dan mengenali-Nya dengan baik, tentu saja tidak akan tersiksa seperti seseorang yang rindu pada Allah. Hanya orang yang rindu yang akan tersiksa bila berpisah, atau bahkan sekadar lupa, pada Kekasihnya, Allah Swt. Karena itulah, para sufi menempatkan syauq (rindu) ini sebagai maqom yang lebih tinggi dari sekadar mahabbah.
BACA JUGA:Mahabbah dan Ma’rifat
Selain Abu Yazid al-Busthomi, Dzun Nun al-Mishri juga mengatakan bahwa apabila makna-makna cinta telah tertanam kuat di dalam hati seseorang, maka setelah itu ia akan merasakan rindu. Dan bila ia telah melampaui rindu, ia akan tiba pada rasa nyaman (al-uns) bersama Allah. Ketika ia merasa nyaman bersama Allah, maka hatinya akan damai dan tenang bersama Allah (Sayyid bin Husain al-Afani, Shilah al-Ummah fi Uluww al-Himmah, Muassasah ar-Risalah Dar al-Afani, Beirut, 1997: 5/756).
Artinya, rindu adalah puncak dari jatuh cinta dan puncak dari ma’rifat. Kerinduan hati pada kekasih lahir tatkala cinta sudah tidak lagi terbendung, ketika hanya perjumpaan semata yang mampu mengobati hati yang rindu. Karena itulah, Abu Yazid al-Busthomi mengatakan dirinya tersiksa apabila sekejap mata lupa pada Allah. Dan Dzun Nun al-Mishri mengatakan bahwa mahabbab yang matang akan melahirkan kerinduan pada Tuhan.
Al-Hafizh bin Rajab setelah mengutip pendapat Dzun Nun al-Mishri di atas, berkomentar: "memang benar, kerinduan itu pasti melahirkan kegelisahan. Namun, Allah memberikan anugerah kepada orang-orang yang gelisah karena rindu berupa ketenangan dan kenyamanan (al-uns)".
Ibrahim bin Adhab pada suatu hari berdoa kepada Allah meminta agar diberi anugerah kerinduan. Ibrahim bin Adham berkata: "Ya Allah, jika Engkau menganugerahkan sesuatu kepada para pecinta-Mu, sehingga hati mereka terus-menerus gelisah sebelum berjumpa dengan-Mu, tolong anugerahkan hal itu juga pada hamba."
Namun kemudian, Ibrahim bin Adham menderita karena kegelisahan itu. Setelah memanjatkan doa seperti itu, ia bermimpi bertemu Allah yang menempatkan dirinya di depan Allah. Lalu Allah bertanya: "wahai Ibrahm, apakah engkau tidak malu padaku? Engkau meminta sesuatu yang bisa mendamaikan hatimu sebelum berjumpa dengan-Ku?" Ibrahim bin Adham menjawab: "apakah hati seorang perindu bisa terobati jika bukan kekasihnya?"
Allah menjawab: "apakah hati seorang pecinta akan damai jika mendapati apa yang tidak dirindukannya?" Akhirnya, Ibrahim bin Ahdam berkata: "ya Tuhanku, hamba bingung dalam mencintai-Mu, hamba tidak mengerti apa yang harus dikatakan," (Muhammad bin Ahmad bin Salim bin Sulaiman al-Hanbali, Al-Buhur al-Zahirah fi 'Ulum al-AKhirah, Sirkah Gharas li an-Nasyr wa at-Tawzi' Kuwait, 2007: 2/592).
Di sini, Ibrahim bin Adham sedang menjelaskan betapa hati seorang perindu akan terus mengalami kegelisahan sampai ia berjumpa dengan kekasih yang dirindukannya (Allah), setelah kematian di akhirat kelak. Gelisah karena rindu itu hanya akan terobati kelak di akhirat, setelah bertemu dengan Allah. Berbeda halnya dengan seorang pecinta, ia tidak akan segelisah seorang perindu. Karenanya, maqom asy-syauq jauh lebih tinggi dari maqom mahabbah.
Jadi, rindu itu satu level di atas mahabbah. Rindu adalah mahabbah yang begitu besar, yang terjadi ketika seorang pecinta terhalang berjumpa dengan kekasih yang dicintainya. Ketika seorang pecinta mencapai puncaknya, dan tampak seperti orang gila, saat itulah ia menjadi perindu. Kegilaan ini baru terobati ketika sang pecinta berjumpa dengan kekasihnya.
Abul Abbas al-Mursi membagi rindu ini menjadi dua macam: pertama, rindu karena terpisah, sehingga obatnya adalah perjumpaan. Keua, rindunya ruh, yaitu ketika pecinta bertemu dan bertatap langsung dengan kekasihnya. Saat perjumpaan pun kerinduan semakin meluap (Ihsan Muhammad Dahlan Jampes Kediri, Sirajut Thalibin 'ala Minhaj al-Abidin ila Jannati Rabb al-Alamin, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 2006: 1/55).
Di sinilah, seorang perindu akan terus mengalami kegelisahan, sampai Allah menganugerahinya al-Uns (kenyamanan) dan ketenangan (tuma’ninah). Bagi seorang perindu yang gelisah hanya karena tidak berjumpa dengan Allah, maka kegelisahan tersebut akan berakhir setelah berjumpa dengan-Nya. Tetapi, seorang perindu yang tetap gelisah walaupun sudah berjumpa dengan Allah, ia akan baru nyaman dan tenang setelah Allah menganugerahi kenyamanan dan ketenangan tersebut. Sebab, bagi mereka, perjumpaan hanya akan menambah cinta dan kerinduan, sampai-sampai tak mau berpisah dan melupakan-Nya. (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: