Hadits dan Tafsir dalam Pemahaman Kaum Sufi

Hadits dan Tafsir dalam Pemahaman Kaum Sufi

KH Imam Jazuli Lc--

ISLAM didasarkan pada Alquran dan Hadits, termasuk ajaran sufisme juga didasarkan pada keduanya. Namun, sebagaimana pemahaman sufistik terhadap Alquran dianggap problematik, pemahaman mereka terhadap Hadits juga dianggap problematik. Sebagaimana pada biasanya, para pengkritik pemahaman sufistik ini berasal dari kalangan yang tidak menggunakan pendekatan serupa dengan apa yang dipakai kaum sufi.

Kaum Sufi sering merujuk pada hadits Nabi saw yang bersabda: "inna minal 'ilmi kahaiatil maknun la ya'lamuhu illa ahlul ma'rifah billai ta'ala. fa idza nathaqu bihi lam yajhalhu illa ahlul ightirar billahi ta'ala. fala tahqiru 'aliman atahullahu ta'ala 'ilman minhu. fainnallaha la yahqirhu idz tahahu iyyahu." 

Artinya, “sesungguhnya ada sebagian jenis ilmu yang seperti perkara tersembunyi, yang tidak akan diketahui kecuali oleh ahli ma’rifat billah. Jika mereka membicarakannya maka tidak akan ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang teperdaya. Karenanya, jangan pernah menganggap hina orang alim yang ilmunya dianugerahi langsung oleh Allah. Karena Allah tidak meremehkan orang itu karena Allah memberikan ilmu langsung kepadanya.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-'Ilm, No. 117; Albani, No. 870, 2/262; Al-Mundziri, al-Targhib, 1/262).

Kaum sufi sering menggunakan hadits di atas untuk menjelaskan tentang ilmu syariat yang mengandung pemahaman lahiriah sekaligus pemahaman batiniah. Namun, pemahaman semacam itu sering kali ditentang, dengan menganggap bahwa ilmu batin dan ilmu lahir itu tidak ada. Bahkan, sekalipun ada, ilmu batin tidak akan pernah bertentangan dengan ilmu syariat lahiriah (Mahmud al-Marakibi, Zhahiruddin wa Batinuhu: as-Salaf, al-Batiniah, asy-Syi'ah, as-Shufiah, 2002: 171).

Sebagaimana pemahaman kaum sufi terhadap Alquran yang didasarkan pada anugerah pemahaman langsung dari Allah, kaum sufi pun dalam memahami hadits Nabi juga demikian. Sehingga, jika dilihat dari kajian historis dan ilmiah, banyak hadits yang digunakan oleh para sufi dianggap sebagai hadits dha’if. Termasuk hadits di atas, yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin pada Kitab al-Ilmi, juga dianggap dha'if oleh Hafizh al-Iraqi, Al-Bani, dan Al-Mundziri, walaupun Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya.

Artinya, selalu ada celah bagi kaum ilmiah untuk mengkritik kaum sufi yang isyari dalam pemahaman mereka atas Alquran dan Hadits. Tujuan kritik tersebut adalah untuk mementahkan dasar argumentasi kaum sufi tentang ilmu batin. Jika dasar mereka dilemahkan, otomatis bangunan keilmuan sufistik juga akan dianggap lemah. 

Salah satu hadits yang sangat populer di kalangan kaum sufi, dan dianggap lemah oleh para kritikusnya, adalah hadits Qudsi di mana Allah berfirman: “Man 'Arafa Nafsahu faqod 'Arafa Rabbahu. Barang siapa mengenal dirinya sendiri maka ia sungguh telah mengenal Tuhannya." Hadits ini adalah dalam Al-Hawi li as-Suyuthi, 2/412-413; Fatawa an-Nawawi, 120; al-Maqashid, 419; Ad-Durar, 213; al-Asrar, 506; Asna al-Mathalib, 219; al-Kasyfu, 2/262. 

Banyak pendapat yang mengkritik hadits di atas, misalnya Imam an-Nawawi mengatakan hadits tersebut tidak kuat. Sedangkan as-Sam'ani mengatakan, hadits tersebut adalah kata-kata dari Yahya bin Mu'adz (Mar'i bin Yusuf al-Karmi al-Maqdisi, al-Fawaid al-Mawdhu'ah fi al-Ahadits al-Mawdhu'ah, Dar al-Warraqa, Beirut, 1998: 103).

Sedangkan sufi besar seperti Ibnu Arabi sampai mengarang kitab berjudul Risalah Man 'Arafah Nafsahu faqod 'Arafa Rabbahu, dan kitab tersebut disyarahi/dijebarkan oleh al-'Arifbillah Ahmad bin Sulaiman al-Arwadi an-Naqsyabandi al-Akbari, dalam kitabnya berjudul Mir'atul 'Ifran wa Lubbhihi Syarhu Risalah Man 'Arafah Nafsahu faqod 'Arafa Rabbahu (Beirut: Books-Publisher, 2015). 

Hadits “Man ‘Arafa Nafsahu” di atas menjadi pijakan kuat dasar pemikiran tentang Wadatul Wujud atau Manunggaling Kawula lan Gusti. Hadits ini adalah rujukan utama bagi para salik yang sedang menempuh suluk untuk mencapai Allah. Mereka harus betul-betul memahami dirinya sendiri, dan menemukan Allah di dalam dirinya. Allah tidak dapat ditampung oleh alam semesta, tetapi Allah bisa masuk ke dalam hati hamba yang mukmin. Itulah maksud dari hadits Qudsi Man ‘Arafa Nafsahu faqod ‘Arafa Rabbahu.

Ada hadits yang mendukung hadits tersebut, seperti: “Lam tasi'ni ardhi wa la sama'i, wa wasa'ani qalbu 'abdil mukmin. Bumi-Ku dan langikut-Ku tidak akan mampu menampung-Ku, dan yang mampu menampung-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman.” (Ali Hasan Ali al-Halabi, Mawsu'ah al-Ahadits wa al-Atsar al-Dha'ifah wa al-Mawdhu'ah, Maktabah al-Ma'arif Riyadh, 1999: 13/20433). Hadits ini membuktikan bahwa hanya hati yang beriman yang mampu menampung atau memahami Allah Swt. Otomatis mendukung hadits tentang hamba yang mengenal dirinya akan mengenal Allahnya.

Masih banyak hadits-hadits lain yang sering digunakan oleh kaum sufi, namin dianggap dha’if atau lemah oleh para kritikusnya. Hal ini membuktikan bahwa pembacaan metodologis kaum sufi berbeda dengan cara pembacaan ilmiah dari para kritikusnya. Sebab, kaum sufi memahami hadits dalam bingkai anugerah langsung dari Allah. Pemahaman kaum sufi adalah pemberian Allah, bukan kerja ilmiah yang dilakukannya. Kaum sufi pun tidak berkepentingan dengan tujuan ilmiah, karena tujuan utamanya adalah basis kehidupan spiritual.

Alhasil, kita dapat memaklumi perbedaan pandangan antara kaum sufi dan ulama dari disiplin ilmu lain, sama seperti kita memaklumi perbedaan intelektual dari satu disiplin ilmu dengan intelektual dengan disiplin ilmu yang berbeda. Metode ilmiah mereka berbeda, sehingga kesimpulannya pun berbeda. Termasuk cara kaum sufi membaca hadits dan Alquran akan berbeda dari para penafsir Alquran dan hadits dari disiplin ilmu tafis Alquran, atau bahkan ulama fikih. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads