Maqomat dan Ahlwal dalam Kajian Sufisme

Maqomat dan Ahlwal dalam Kajian Sufisme

KH Imam Jazuli Lc--

SUFISME Islam sangat kaya dengan terminologi khas, yang tidak mudah dimengerti hanya bermodalkan khazanah linguistik. Di antara terminologi tersebut antara lain adalah Maqomat dan Ahwal. Maqomat secara linguistik adalah bentuk plural dari Maqom, sedangkan Ahwal adalah bentuk plural dari Hal. Maqom berarti nasihat atau percakapan yang disampaikan seseorang di hadapan raja atau khalifah. Hal adalah suatu keadaan tertentu dalam rang dan waktu.

Namun, dalam tradisi intelektualisme sufistik, maqom (plural: maqomat) adalah posisi seorang hamba di hadapan Allah Swt, di mana ia sedang mengerjakan berbagai bentuk ibadah, mujahadah dan latihan spiritual, bahkan menjaga hati agar hanya terpusat pada Allah dan abai pada selain-Nya. Istilah Maqom ini didasarkan pada ayat 14 surat Ibrahim, di mana Allah berfirman: "itu bagi orang yang takut pada maqom-Ku dan takut pada ancaman-Ku." (Zaki Mubarak, At-Tasawuf al-Islami fi al-Adab wa al-Akhlaq, Wikalah as-Shahafah al-Arabiah Giza, 2022: 496).

BACA JUGA:Fikih Peradaban: Agama, Manusia dan Alam

Sedangkan Hal (Ahwal, plural) secara linguistik adalah akhir dari yang sebelumnya dan awal bagi yang sesudahnya. Namun, secara istilahi, menurut al-Jurjani, Ahwal adalah makna yang datang ke dalam hati seorang hamba tanpa ada usaha dari dirinya sendiri, tidak dapat diupayakan dengan apapun, dan Ahwal ini akan hilang bila sifat-sifat nafsu mulai muncul (Zaki Mubarak, 2022: 496).

Artinya, seseorang mungkin saja dia rajin mengerjakan ibadah, seperti salat jamaah rutin, puasa sunnah, salat-salat sunnah rawatib, tetapi belum tentu ia mendapatkan Ahwal. Jika sekadar mengerjakan ibadah, riyadhah, dan mujahadah tertentu maka itu hanya maqom dirinya.  Misalnya, ia hanya berada pada maqom salat fardhu berjamaah, atau pada maqom puasa sunnah rutin, atau pada maqom salat tahajud rutin.

Maqom-maqom tersebut bisa diupayakan dan diusahakan. Namun, seseorang belum tentu mendapatkan Ahwal. Misalnya, seseorang mengerjakan ibadah salat fardhu berjamaah, tetapi diiringi dengan sifat-sifat nafsu, ingin dipuji, riya’, atau tujuan-tujuan lain yang bukan tulus karena Allah. Pada saat seperti itu, ia hanya berada pada satu maqom tetapi tidak mendapatkan ahwal.

Maqomat itu adalah Makasib (sesuatu yang dapat diupayakan melalui ikhtiar), tetapi Ahwal ituadalah Mawahib (anugerah langsung dari Allah pada hamba yang dipilih-Nya). Ahwal itu datang dari kedermawanan dan pemberian Allah (Mahfud Ibnu Ahmad Kalwadhani, Al-Tahdzib fi Al-Faraid, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998: 146).

Menginat Maqomat adalah Makasib, maka seseorang tidak bisa naik dari satu maqom ke maqom yang lebih tinggi apabila ia belum memenuhi syarat maqom pertama. Karena itulah, Abdul Mun'im al-Hufni mengatakan, "jalan menuju Allah itu ada tiga; maqom, hal dan tamkin. Maqomat ada seratus dua puluh empat atau lebih. Bila maqomat ini dituntaskan, maka muncullah Ahwal. Dari Ahwal muncullah tamkin, yaitu seseorang sudah mencapai puncak maqom dan berdiam di atas puncak itu".

Dengan begitu, amal perbuatan untuk membersihkan hati agar mencapai kesempurnaan ditempuh dengan mujahadah harian agar menghilangkan godaan nafsu. Namun, setiap salik memiliki caranya sendiri untuk menghindari nafsu. Maqom seseorang ini akan membuahkan ilmu tentang Allah, ilmu akan membuahkan amal yang diridai Allah, dan amal yang diridai ini akan membuahkan Ahwal dan cahaya yang menerangi gelapnya hati. 

Demikianlah seterusnya, sampai maqomat dan ahwal ini membuahkan musyahadah dengan Allah (Wujdi Amin Al-Jurdi, Khatirat al-Shufiah baina Dilala al-Rumzi wa Jamaliah at-Ta'bir, Books Publisher Beirut, 2017: 89). Dengan kata lain, musyahadah atau mukasyafah tercapai bila maqomat dan ahwal sudah terlampaui. Mustahil seseorang akan musyahadah dengan Allah apabila syariat (maqomat) dan ahwal (hakikat) tidak dikerjakan dengan sempurna.

Sampai di sini, pihak-pihak yang menolak sufisme karena tuduhan tidak menjalankan syariat dengan benar adalah tuduhan palsu. Mustahil seorang sufi akan meninggalkan syariat dan lebih mengedepankan hakikat. Sebab, Syariat adalah maqomat yang harus dipenuhi sepenuhnya. Dengan terpenuhinya syariat (maqomat) ini, maka seseorang baru akan mendapatkan Ahwal (pengetahuan hakiki yang datang langsung dari Allah). 

Salah satu penjelasan dari Dzun Nun al-Mishri sangat pas untuk menjelaskan hal tersebut. Dzun Nun mengatakan: "seseorang yang beriman apabila betul-betul beriman pada Allah dan keimanannya itu sudah mantap, maka ia akan takut pada Allah. Bila ia takut, maka keagungan Allah akan muncul pada dirinya. Bila derajat keagungan ini sudah mapan di hatinya, maka ia akan lebih taat mengerjakan perintah Allah."

“Dari ketaatan atas perintah Allah tersebut maka lahirlah sebuah harapan akan belas kasih Allah. Bila harapan ini terus-menerus bertahan di hatinya, ia akan mulai jatuh cinta pada Allah. Bila rasa cinta ini sudah mapan dan teguh di hatinya, maka ia akan selalu rindu pada Allah. Bila rasa rindu itu terus menyala, maka ia sepenuhnya bergantung pada Allah. Bila sepenuhnya bergantung, maka hatinya akan damai bersama Allah. Bila hatinya damai bersama Allah, maka siang dan malam ia akan selalu bahagia,” (Wujdi Amin Al-Jurdi, 2017: 89).

Dengan kata lain, maqom ketaatan pada perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya (syariat) sudah pasti menjadi bagian yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh kaum sufi. Dari maqom syariat itulah, ia akan sampai pada hakikat, yaitu ahwal berupa cinta, rindu, dan damai bersama Allah baik siang maupun malam. Semua Ahwal ini tidak bisa diupayakan, karena itu merupakan anugerah dari Allah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: