Islam tidak mungkin ditampilkan bermusuhan dengan nilai-nilai kearifan lokal, apalagi Indonesia dihuni oleh bukan saja umat muslim, di sana ada umat Nashrani, Hindu, Buddha, dan Konghucu, yang setiap orang memiliki nilai-nilai lokalitas masing-masing. Tentu saja, pribumisasi dan akulturasi ini sulit dikembangkan oleh mereka yang tidak tumbuh dalam tradisi intelektual sufistik.
Sebaliknya, dengan memperkuat tradisi sufistik, Islam akan tampil dengan wajah yang ramah terhadap adat dan tradisi lokal, seperti yang dicontohkan oleh Bayazid, di mana Islam dan lokalitas Persia tumbuh bersama saling melengkapi. Dari sini, kita perlu belajar terhadap Islam rahmah ala Bayazid dari Persia itu. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.