DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akan segera membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law Keuangan. RUU inisiatif DPR ini menjadi bahan kajian menarik bagi praktisi koperasi dan menilai bahwa RUU ini dinilai bisa merusak prinsip, nilai dan jati diri koperasi dengan bergesernya perijinan dan pengawasan koperasi melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
RUU ini bukan mendorong penguatan koperasi tapi malah sebaliknya berpotensi melemahkan dan merusak sistem nilai yang dibangun koperasi yakni kekeluargaan dan kegotong-royongan. Untuk menjaga penerapan azas kekeluargaan dan kegotong-royongan dalam berkoperasi khususnya KSP dan KSPPS sebaiknya perijinan dan pengawasan tetap di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM).
Dengan alasan ada 8 koperasi bermasalah lalu membabi buta dan menggeneralisasi bahwa semua koperasi bermasalah tentu tidak bijak. Saat ini satgas Penanganan Koperasi Bermasalah KemenkopUKM sedang menangani delapan koperasi bermasalah yang mengalami gagal bayar terhadap anggota, yaitu KSP Intidana, KSP Indosurya Cipta, KSP Sejahtera Bersama, KSP Timur Pratama, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, KSP Lima Garuda, dan Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa. Jika kita menilik jumlah KSP dan KSPPS saat ini berjumlah paling tidak 127 ribu, tentu jika dibandingkan dengan 8 koperasi bermasalah ini jauh masih lebih besar koperasi yang dalam kondisi baik-baik saja.
Sangat tidak bijak menilai bahwa KemenkopUKM tidak mampu mengawasi koperasi yang ada. Jika terdapat kelemahan maka harusnya diperbaiki. Ini ibarat ada tikus di rumah, tetapi dibunuh dengan tembakan yang bisa merusak perabotan rumah yang lebih mahal. Padahal harusnya bisa dibasmi cukup dengan lem tikus.
Memang diperlukan instrumen penguat pada pengawasan yang dilakukan oleh KemenkopUKM saat ini, artinya yang masih terdapat kelemahan perlu diperbaiki. Terhadap 8 koperasi bermasalah ini, KemenkopUKM dapat belajar apakah 8 koperasi ini menerapkan prinsip, nilai dan jati diri berkoperasi yang sesungguhnya atau tidak.
Dengan jumlah KSP dan KSPPS yang saat ini 127 ribu dan pada RUU dinyatakan hanya koperasi besar yang akan diawasi oleh OJK, ini memberikan indikasi bahwa pembuat RUU tidak paham bahwa koperasi baik besar atau masih kecil menerapkan prinsip, nilai dan jati diri yang sama dan harus diawasi oleh otoritas yang sama.
Pembuat RUU selalu mendalilkan di media bahwa RUU PPSK ini dibuat sebagai aksi terhadap 8 koperasi bermasalah yang telah merugikan masyarakat. Padahal kita tahu berapa jumlah anggota 8 koperasi bermasalah ini dibandingkan dengan jumlah anggota koperasi yang mendekati angka 30 juta orang. Artinya masih lebih banyak masyarakat yang diuntungkan dengan berbagai benefit berkoperasi.
Koperasi dibangun dengan landasan yang berbeda dengan industri perbankan. Koperasi mengedepankan aspek profit dan benefit dalam satu equilibrium model (model keseimbangan) sementara perbankan mengedepankan profit semata. Koperasi memberikan layanan kepada anggota sebagai pemilik, karena anggota adalah pengguna dan pengendali (selain fungsinya sebagai owner). Maka koperasi sejatinya tidak boleh menyebut anggota sebagai nasabah. Koperasi menyebut konsumennya sebagai anggota.
Pelayanan kepada anggota dalam berkoperasi tidak melihat apakah anggota memiliki jaminan atau tidak. Banyak koperasi bahkan koperasi pada level besar tidak mensyaratkan jaminan (collateral) karena sifat koperasi yang sesungguhnya anggotalah yang memiliki koperasi ini. Tentu ini akan menjadi bermasalah saat koperasi disatukan pengawasannya pada OJK yang mensyaratkan mitigasi risiko yang tentu berbeda dengan perbankan.
Koperasi menjaga harmonisasi profit dan benefit berbeda dengan praktek perbankan yang hanya mengedepankan profit semata. Perbankan menempatkan konsumen sebagai nasabah dan tentu menempatkan pemilik harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Jika koperasi menjadi ranah OJK maka peran koperasi dalam memberikan kesejahteraan anggota akan tereduksi dengan aturan-aturan OJK yang menyamakan koperasi sama dengan industri perbankan. Koperasi tidak akan lagi mampu menjalankan prinsip, nilai dan jati diri berkoperasi.
Dikatakan RUU PPSK ini dibuat untuk memberikan prioriotas yang sama dan kesetaraan dengan lembaga keuangan lain termasuk industri perbankan. Alasan ini harus dikoreksi karena pada sektor mikro masih banyak masyarakat kita yang jauh dari nilai bankable akan sulit mendapatkan akses pinjaman atau pembiayaan. Jika nanti koperasi berada pada ranah OJK maka akan muncul istilah koperasiable, istilah yang menyamakan bahwa anggota koperasi yang bisa memperoleh fasilitas pinjaman atau pembiayaan adalah mereka yang dianggap memiliki risiko rendah dalam pengembalian pinjaman atau pembiayaan.
Penulis masih dengan jelas teringat saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan memutuskan undang-undang itu tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dan akhirnya Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuk undang-undang yang baru terbentuk.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Pengertian koperasi ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang No. 17/2012, sehingga di suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas. Hal ini kembali berpotensi terjadi jika ijin dan pengawasan bergeser ke OJK.