Pertama, setiap hal yang membatalkan wudhu.
Kedua, menemukan air setelah sebelumnya tidak mendapatkan air. Karena sesungguhnya tayamum adalah pengganti dari air. Jika sesuatu yang digantikan telah ada maka penggantinya tak akan berguna.
Lalu bagaimana jika menemukan air setelah selesai melakukan shalat? Jika menemukan air setelah melakukan shalat, maka tayamumnya sah dan shalatnya juga sah, serta tidak perlu mengqadha shalat.
ولوجود الماء بعد انقضاء الصلاة فقد صحُت صلاته، وليس عليه قضاؤها
Artinya, “Jika menemukan air setelah mengerjakan shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengqadha,” (Lihat Musthafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi‘i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], halaman 97).
Namun jika menemukan air di awal mengerjakan shalat, diperbolehkan untuk memutus shalatnya dan kembali berwudhu dengan air.
Menurut ulama, hal ini lebih utama.
وكذلك لو وجده بعد شروعه في الصلاة فإنه يتمها وهي صحيحة، ولو قطعها ليتوضأ ويصلي بالوضوء كان أفضل.
Artinya, “Begitu juga jika menemukan air setelah memulai shalat, maka sah untuk melanjutkan shalat tersebut sampai selesai. Jika memutus shalat untuk berwudhu dan mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut, maka hal itu lebih utama,” (Lihat Musthafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi‘i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], halaman 97).
Ketiga, mampu menggunakan air. Hal ini diperuntukkan orang yang sebelumnya dilarang menggunakan air karena sakit. Setelah ia boleh menggunakan air, maka batal tayamumnya.
Keempat, murtad. Karena tayamum diperbolehkan jika masih dalam keadaan Islam. Berbeda halnya dengan wudhu dan mandi. Karena keduanya untuk menghilangkan hadats sehingga tidak berimplikasi pada wudhu dan mandinya.
Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1, hal. 94).
Menurutnya, ada empat alasan dibolehkannya bertayamum:
1. Ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Ketiadaan air secara kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air, sedangkan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi untuk kebutuhan minum.
2. Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer. Artinya, jika dimungkinkan ada air tetapi di atas jarak tersebut, maka diperbolehkan bertayamum mengingat beratnya perjalanan, terlebih ditempuh dengan berjalan kaki.
3. Sulitnya menggunakan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Sulit secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya.