Telinga merupakan organ yang sensitif, terutama bagian dalam yang mempunyai andil cukup penting dalam memproses bunyi atau suara. Sehingga bisa diakses sampai ke pusat pendengaran di otak. Itu semua perlu dilindungi dengan baik.
Berbeda dengan mata, saat kita tak ingin melihat maka mata dapat dipejamkan. Telinga dengan kondisi bagaimanapun tetap siap untuk menerima bunyi dan tetap terbuka lebar untuk mendengarkan. Sesuai dengan fungsi pendengaran yang juga sebagai akses kewaspadaan selain pendengaran.
Sekalipun tidur telinga tetap terbuka untuk menerima suara yang masuk. Tak pelak lagi bagi remaja yang punya kebiasaan mendengarkan musik dengan head set sampai tertidur, rawan menjadi tuli.
Bagi masyarakat industri, sudah ada kendali untuk mengantisipasi bahaya bising akibat kerja. Melalui program konservasi pendengaran aturan diberlakukan dengan mengharuskan monitor pendengaran sejak awal bekerja. Juga dilakukannya tes pendengaran setiap tahun.
Bunyi merupakan suatu energi yang besar kecilnya dan ditentukan oleh intensitas dan frekuensinya. Makin besar intensitas dan tinggi frekuensinya akan menimbulkan energi yang makin kuat.
Kemampuan mendengar manusia ada batasnya dalam rentang frekuensi bunyi ( 20 Hz - 20 kHz ) dan dalam menerima energipun juga terbatas. Hal ini menjadi dasar dalam peraturan dalam kesehatan dan keselamatan kerja, ditetapkan ambang batas keamanan pendengaran ditempat bising.
Pada stimulasi yang tidak berlebihan memberi dampak menyehatkan sedang bila berlebihan akan merusak pendengaran bahkan berdampak sampai di pusat pendengaran di otak. Dengan demikian perlu dipahami arah ke mana kita ingin membawa perubahan yang positif dalam artian makin menyehatkan tubuh kita.
Dampak bising selain pada organ pendengaran dan daya dengar, juga bisa berpengaruh sampai pada status kesehatan tubuh secara keseluruhan. Ini disebut sebagai efek sistemik. Keluhan yang terjadi bisa berupa depresi, sulit tidur, gangguan jantung dan pembuluh darah.
Ketika Tuli Menjadi Tak Asing di Masyarakat
Bagaimana bila terlanjur tuli dan bagaimana masa depan mereka? Bayangan akan kehidupan yang terisolir dan dengan masa depan yang tidak jelas tentu menjadi momok bagi para penyandang tuli.
Kehidupan inklusi bisa menjadi solusi.
Sebagai gambaran dari kehidupan tersebut yaitu terjadi pada sebuah keluarga yang ibunya seorang wanita tuli tinggal bersama kedua anaknya. Sekalipun kedua anaknya tersebut pendengaran normal, namun saat mereka berbicara tampak sangat atraktif dan komunikatif, dengan tetap memakai bahasa isyarat dengan disertai suara lantang bercerita panjang lebar.
Dalam dunia yang inklusif diharapkan tidak ada hambatan berkomunikasi berbaur di dalam komunitasnya. Saling memahami, mengerti dan mengatasi keterbatasan masing-masing melahirkan rasa kepedulian, menghargai, mengesampingkan egosentrisme.
Keadaan ini bisa terjadi karena secara alami berkembang demikian, lingkungan yang mendukung karena ada keterlibatan emosional, hubungan persaudaraan ataupun area lokasi yang spesifik seperti di Desa Bengkala, Singaraja.
Desa tersebut terkenal dengan sebutan Desa Kolok, yang berarti tuli. Disebut demikian karena sebagian besar penduduknya penyandang tuli.
Orang normal pun terbiasa komunikasi dengan bahasa isyarat. Hanya di sini berbeda dengan contoh sebelumnya, mereka tidak berbicara secara bersamaan saat menggunakan bahasa isyarat.