Satu Dekade Intoleransi Ekonomi Tidak Berubah, NU Termarginalkan

Senin 09-10-2023,12:11 WIB
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

Namun, pertanyaannya, sampai kapan kita berteriak di luar sistem? Sampai kapan kita yakin satu-satunya upaya membela rakyat adalah politik kebangsaan? Tentu kita harus membuka cakrawala berpikir yang lebih luas, dimana politik praktis adalah jalan paling efektif.

Di sinilah, NU dan PKB memiliki perjumpaan ideologis, ingin membebaskan warga Nahdliyyin yang termarginalkan, memperjuangkan suara-suara rakyat dhuafa, fakir, dan miskin yang tersingkirkan. Tentunya membubarkan praktik intoleransi ekonomi.

NU-PKB memang berbeda identitas; satu kanal dakwah keagamaan dan satunya kanal dakwah politik. Namu, dari segi ideologi dan basis massa, PKB dan NU adalah sama saja. Untuk itu, sudah tidak ada jalan lain selain menjemput dan mengupayakan persatuan dan kesatuan PKB-NU demi masa depan rakyat yang lebih baik.

Persatuan dan kesatuan PKB-NU sangat mendesak, karena sistem politik Indonesia diatur dalam lima tahun sekali. Jika egosentrisme NU dan PKB belum berakhir, maka korban yang dirugikan adalah mereka yang senasib sepenanggungan dengan rakyat Pulau Rempang. Satu-satunya pihak yang menang adalah oligarki. Dan intoleransi ekonomi semakin sulit dihancurkan. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Kategori :