تَنْبِيهٌ: ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَنَّ ثَوَابَ صَوْمِهِ يَفْضُلُ ثَوَابَ صَوْمِ غَيْرِهِ وَلَوْ مِنْ بَاقِي الْحُرُمِ إذْ لَوْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِذِكْرِهِ دُونَ بَاقِيهَا وَجْهٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ كَمَا أَشَارَ لَهُ الشَّيْخُ زَرُّوقٌ بَلْ وَرَدَ أَنَّ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلُ مِنْ صَوْمِ رَجَبَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْحُرُمِ.
“Dari perkataan di atas menunjukkan bahwa pahala berpuasa di bulan Rajab lebih besar dibandingkan pahala berpuasa di bulan selainnya, meskipun termasuk bagian dari bulan-bulan yang dimuliakan. Sebab apabila tidak demikian, maka tidak akan disebutkan pendapat yang menyatakan tentang puasa itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syekh Zarruq. Namun puasa Muharram tetap lebih utama (pahalanya) dibandingkan puasa Rajab atau bulan-bulan yang dimuliakan lainnya.” (Hasyiyah al-‘Adawi ‘ala Kifayat al-Thalib al-Rabbani, 2/407)
Selain itu, ulama dari kalangan Mazhab Maliki dalam berbagai pendapat yang termaktub dalam karya-karyanya juga menyebutkan demikian.
Sehingga posisi Mazhab Maliki juga mengakui tentang kesunnahan puasa Rajab secara mutlak.
3. Mazhab Syafi’i
Dalam Mazhab Syafi’i, banyak sekali literatur yang menyebutkan tentang kesunnahan berpuasa di bulan Rajab. Pendapat-pendapat tersebut disadur dalam berbagai kutub al-muthawwalat (kitab-kitab yang luas pembahasannya).
Seperti dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhazzab karya al-Nawawi disebutkan tentang termasuk puasa yang dianjurkan adalah puasa di bulan yang dimuliakan:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَمِنْ الصَّوْمِ الْمُسْتَحَبِّ صَوْمُ اْلاَشْهُرِ الْحُرُمِ وَهيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ قَالَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ أَفْضَلُهَا رَجَبُ وَهَذَا غَلَطٌ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِي سَنَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ الله تعالى ” اَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ”
“Murid-murid kami (Imam Syafi’i) berkata: Termasuk dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan yang dimuliakan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan yang paling mulia adalah bulan Muharram.
Imam al-Ruyani dalam kitabnya al-Bahr menyebutkan bahwa bulan yang paling mulia adalah bulan Rajab. Pendapat ini dibantahkan dengan adanya hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Puasa yang paling mulia setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah; Muharram.’” (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, 6/386)
Ibn Hajar al-Haitami di dalam kitabnya al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra dengan lantang membantah orang-orang yang mengatakan bahwa puasa Rajab termasuk bid’ah dan terlarang.
Beliau memang mengakui bahwa sebagian dalil tentang puasa Rajab adalah hadis maudlu’ (palsu), namun Ulama Mazhab Syafi’i tidak menggunakan dalil tersebut. Dan menyatakan:
وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضَلَ وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ أَنَّ صَوْمَ رَجَبَ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فِيهِ بِالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ
“Dan merupakan ketetapan bahwa hadis dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal, dan mauquf itu bisa diamalkan dalam hal fadhail al-a’mal secara ijma’. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa puasa Rajab termasuk dari fadhail al-a’mal. Maka cukup berlandaskan pada hadis-hadis dha’if dan semisalnya. Dan tidak ada yang mengingkari kesimpulan ini kecuali orang yang bodoh yang tertipu.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, 2/54)
Oleh karena itu, klaim bid’ah atau haram atas tradisi puasa di bulan Rajab tidak memiliki dasar yang kuat itu terbantahkan. Sehingga posisi Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki dalam hal kesunnahan berpuasa di bulan Rajab.
4. Mazhab Hanbali