JAKARTA, DISWAY.ID - Sebanyak 80% sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum ini juga fokus pada pemberdayaan guru, dan penerapan teknologi di kelas, Kemendikbudristek berupaya memastikan setiap anak memiliki akses ke pendidikan berkualitas, guna menciptakan lompatan besar dalam pendidikan Indonesia.
Merdeka Belajar, sebagai paradigma pembelajaran yang berorientasi pada murid, menjadi sebuah cara yang tepat dalam melihat esensi transformasi pendidikan.
Melalui program ini, sekolah dan guru dapat benar-benar fokus menjalankan tugasnya, yaitu mendorong pembelajaran di kelas sesuai tingkat kompetensi siswa.
“Setelah merasakan hasil dari pembelajaran yang berpusat pada siswa, menurut saya orang-orang akan berusaha keras untuk mempertahankannya,” kata disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Hasil PISA dan Transformasi Pendidikan di Indonesia” dalam keterangan virtual.
Oleh karena itu, kata dia menjaga transformasi pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik, tentu menjadi prioritas bagi semua pihak.
Lebih lanjut Nadiem menjelaskan tiga faktor utama yang berdampak pada keberlanjutan Merdeka Belajar di masa mendatang.
Pertama, keberadaan ratusan ribu Guru Penggerak yang menjadi agen perubahan membawa paradigma baru di dunia pendidikan dan ikut membawa pengaruh positif bagi guru-guru lainnya.
Kedua, sebanyak 80% sekolah di Indonesia secara sukarela telah mulai mempelajari tentang prinsip, ide, dan mengimplementasikan bagian-bagian dari Kurikulum Merdeka.
Terakhir, revolusi digital melalui platform-platform pendukung pembelajaran yang telah diluncurkan oleh Kemendikbudristek.
Ia juga menekankan untuk tidak memandang gerakan ini sebagai kebijakan pemerintah yang bersifat top-down, melainkan fokus pada gerakan akar rumput.
“Di negara berkembang seperti Indonesia, sistem pendidikan harus selalu memprioritaskan para murid yang tertinggal. Diperlukan mandat yang jelas tentang kebijakan pemerintah agar benar-benar memprioritaskan kurikulum serta pengajaran dengan berfokus pada mereka yang berpotensi tertinggal,” kata dia.
Bukti konkret transformasi pendidikan nasional, salah satunya terlihat dalam penanganan pandemi Covid-19 lalu.
Pandemi Covid-19 telah memaksa sektor pendidikan bertransformasi secara cepat. Berdasarkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2022, dampak pandemi Covid-19 terhadap penutupan sekolah membuat banyak siswa di berbagai negara mengalami kemunduran belajar (learning loss).
Hal tersebut berdampak pada menurunnya rata-rata skor literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains internasional.
Kendati demikian, Indonesia berhasil mempertahankan skornya di tingkat rata-rata atau bahkan lebih baik dari rata-rata internasional.
Kemendikbudristek juga mengeluarkan sejumlah terobosan agar pembelajaran dapat tetap terlaksana dan menghindari terjadinya zero learning, di antaranya pembagian kuota internet kepada murid dan guru, diluncurkannya platform untuk saling berbagi praktik baik bagi para guru, pengadaan konten pembelajaran melalui saluran televisi, dan memberikan fleksibilitas ke sekolah dalam memanfaatkan dana BOS.
“Menurut saya, yang paling berdampak adalah keputusan kami untuk menawarkan kepada semua sekolah agar melakukan kurikulum versi yang disederhanakan. Kini dapat dilihat bahwa sekolah yang menerapkan kurikulum yang disederhanakan atau kurikulum darurat, mengalami kemunduran belajar lebih sedikit,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, menyoroti keterkaitan antara hasil PISA dan Asesmen Nasional yang diterapkan di Indonesia.
“Asesmen Nasional merupakan penilaian komprehensif tingkat sekolah yang dapat melengkapi hasil PISA. Ketika PISA memberi kita sebuah gambaran level nasional, Asesmen Nasional menunjukkan yang lebih spesifik dari hampir setiap sekolah di Indonesia,” ujar Anindito dalam webinar yang sama.
Selain mengukur hasil pembelajaran siswa dalam hal literasi membaca, numerasi, dan pemikiran kritis, Asesmen Nasional juga menilai berbagai aspek sekolah seperti iklim sekolah dan berbagai faktor risiko (seperti perundungan, intoleransi, kekerasan di sekolah), serta kualitas pengajaran.
“Yang paling penting adalah kami memberikan hasil-hasil itu kembali ke sekolah dan pemerintah daerah. Kami menggunakan data sebagai umpan balik formatif untuk perencanaan tahunan. Hal tersebut kemudian bermuara pada perbaikan terus-menerus terhadap pengajaran dan pembelajaran,” ujar Anindito.
Director for the Directorate of Education and Skills Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Andreas Schleicher, mengapresiasi langkah-langkah inovatif yang diambil oleh Indonesia dalam transformasi pendidikan, khususnya dalam penerapan Merdeka Belajar.
"Indonesia memperkenalkan semuanya secara bersamaan sebagai bagian dari ekosistem yang sangat koheren. Ini adalah eksperimen yang cukup inovatif dan mencerminkan hasil PISA yang positif," ujarnya.
Terkait kurikulum, Andreas sepakat bahwa mengajarkan lebih sedikit hal secara lebih mendalam sangatlah penting.
Proses pembelajaran akan lebih fokus pada aktivasi kognitif dan membuat murid terlibat dengan pengalaman belajar yang lebih baik.
“Reformasi pendidikan ini seharusnya berlangsung paling tidak satu dekade, karena menurut saya Anda sudah menempatkan hal tersebut pada jalur yang benar,” pungkasnya.