JAKARTA, DISWAY.ID-- Program Sastra Masuk Kurikulum tengah terjadi polemik di tengah masyarakat.
Polemik tersebut seiring daftar buku panduan atau rekomendasi buku sastra beredar secara daring.
Sejumlah buku yang direkomendasikan itu menuai protes, karena dinilai memuat unsur-unsur kekerasan.
Terkait hal ini, sastrawan yang menjadi anggota tim kurator Sastra Masuk Kurikulum, Okky Madasari, PhD memberikan penjelasan.
Dijelaskannya, bahwa pemilihan buku ini didasarkan pada indikator untuk memenuhi projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).
"(Indikator) itu berlaku pada setiap jenjang, SD, SMP, SMA. Tentu caranya kemudian lain, pemenuhannya berbeda di setiap jenjang," sambungnya.
"Ketika Profil Pengajar Pancasila bicara tentang inovasi, definisi di SD, SMP, dan SMA itu lain. Ketika bicara keberagaman, di SD akan lain dengan SMA," jelas Okky.
Terkait hal ini, judul-judul buku yang dinilai menggambarkan nilai sensitif ini ditemukan hanya pada buku untuk jenjang SMA.
"Tidak ada buku yang bicara seksualitas atau menggambarkan hal-hal yang dianggap tabu itu di level SD atau SMP," jelas pada konferensi pers di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2024.
Sementara untuk jenjang SMA, diketahui rentang usia pelajarnya rata-rata di atas 16-19 tahun.
Menurutnya, pelajar SMA ini telah mengenal kompleksitas kehidupan dan permasalahan dalam realitas.
"Mereka sudah mulai mengenal kompleksitas kehidupan, kompleksitas dirinya, termasuk mengenal tentang seksualitas, tentang kompleksitas permasalahan di negaranya," tutur Okky.
Ia menilai polemik terhadap muatan tersebut imbas dari bacaan yang tidak dibaca dalam konteks karya secara utuh.
"Ketika misalnya ada suatu buku yang dianggap kutipannya berbahaya itu masuknya kenapa?Oh, ternyata buku ini berbicara tentang satu periode sejarah Indonesia. Jadi tujuannya lebih ke penafsiran sejarah."
Ia juga mencontohkan puisi di mana penyair menganalogikan alam sebagai kekasih.