Meski begitu, toleransi tetap memiliki batasnya.
“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan (sinkretisme / talfiq al-adyan) sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," kata Arif dikutip Selasa, 4 Juni 2024.
Dalam hal ini berlaku otorisasi akidah dan syariah Islam sebagaimana tuntunan dalam Surat Al-Kafirun ayat 6.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Lakum dīnukum wa liya dīn
Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun:6)
Arif menjelaskan keputusan dalam fatwa salam lintas agama juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.
BACA JUGA:MUI Tak Gentar Panji gumilang Ajukan Praperadilan: Itu Hal Biasa Kok
Misalnya, apabila dalam suatu wilayah yang populasi umat Islam tidak dominan sehingga secara budaya mereka tidak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan.
Adanya kekhawatiran jika umat Islam dinilai tidak proaktif memperkuat kerukunan antar umat beragama, maka umat Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar'i (udzur syar'i) untuk tidak menghindari tradisi toleransi tersebut selama tidak diniatkan sebagai bentuk amal ibadah dan akidah.
Sama halnya dengan umat Islam yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat public saat menyampaikan sambutan di acara pemerintahan.
Dalam fatwa Ijtima Ulama MUI menganjurkan agar pejabat sebaiknya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.
“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i (udzur syar'i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, ” jelas Arif.