Pojokan 218: Pope Francis

Minggu 08-09-2024,16:22 WIB
Oleh: Dr. Mahnan Marbawi MA

JAKARTA, DISWAY.ID - Sore hari tanggal 30 Juli 1556, Inigo de Loyola meminta father Polanco-sahabat yang membantu membuat surat-surat atas namanya, untuk pergi menemui Sri Paus untuk meminta berkat darinya bagi Ignatius.

Dia menyiratkan kepada father Polanco bahwa ia menjelang ajal. 

Rupanya kata-kata dokter lebih dipercaya father Polanco daripada keinginan Ignatius. Father Polanco pun menjawab akan pergi meminta berkat Sri Paus besok harinya, karena harus menulis banyak surat dan mengirimkannya pada hari itu. Padahal Ignatius menyatakan bahwa dia lebih suka kalau father Polanco pergi sore itu, namun dia tidak memaksakan. 

Tetapi Ignatius merasa tenang karena seperti dikatakan oleh Santo Paulus, “berada bersama Yesus meski dalam penindasan atau kesakitan adalah suatu keberhasilan.” 

Segera setelah lewat tengah malam, keadaan Ignatius memburuk. Ada penyesalan pada father Polanco. Father Polanco bergegas untuk meminta berkat Sri Paus, tetapi sudah terlambat. Mantan kesatria duniawi yang telah terlibat dalam medan peperangan yang berbeda itu, telah menyerahkan nyawanya ke tangan Tuhan dengan tenang dan bahagia. Mewariskan ajaran mulia pada ordo Jesuit.

Inigo de Loyola dilahirkan pada tahun 1491 di Azpeitia di provinsi Guipuzcoa di wilayah Basque di sebelah utara Spanyol. Dia adalah anak bungsu dari tigabelas bersaudara. Dia adalah Santo dari ordo Jesuit atau perkumpulan Yesus (dalam bahasa Latin disebut Societatis Jesus). Dalam bahasa Indonesia tarekat mereka dikenal sebagai Serikat Yesus atau Jesuit.

Ordo Jesuit merujuk kepada Santo Ignitius de Loyola alias Inigo de Loyola, pendiri ordo.  

Tiga ajarannya yang dilekati dan ditaati semua pengikutnya, taat, selibat dan melarat. Asketisme yang tak meninggalkan pengabdian kepada kehidupan dan peradaban yang lebih baik untuk sesama dan kemanusiaan.

Tengok saja suratnya kepada para Pastor dan Saudara di Padua yang ditulis di Roma, 6 Agustus 1547; Atau coba lirik petikan suratnya kepada Anggota Perhimpunan di Eropa yang ditulis di Roma, 24 Desember 1552. Surat-surat itu dan lainnya, menekankan kepada pelayanan kepada kemanusiaan, pendidikan ruhani, kehidupan miskin sebagai bagian dari laku spiritual (asketis) dan mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan diri. 

Ajaran yang dipadu dengan moto Serikat Yesus, “Ad Maiorem Dei Gloriam,….demi kemuliaan yang lebih besar bagi Allah”. Yang ditampakkan pada pengabdian dan pelayanan pada kemanusiaan, kemajuan dunia pendidikan, kesehatan dan peradaban. Bertumpu pada laku spiritual asketis dan etika moral.

Ajaran itulah yang ditampakkan oleh Paus Fransiskus ketika perjalanan apostoliknya ke Indonesia (3-6 September 2024) lalu. Kesederhanaan dan perhatian terhadap kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Bukan kepada kekuasaan dan kemegahan duniawi.

Paus Gereja Katolik ke-266 yang terpilih pada Konklaf Kepausan 2013 ini, memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio, lahir di Buenos Aires pada tanggal 17 Desember 1936. Pope Francis -sebutan Paus Fransiskus, memegang teguh trilogi ajaran Jesuit Ignatius de Loyola; taat, selibat dan melarat.

Mobil Inova zenix, penginapan di kedutaan Vatikan di Jakarta, pesawat komersil, sepatu lusuh dan jam Casio MQ24-7B2 seri Twice Again, seharga Rp. 100 ribuan yang dikenakan Pope, sudah berbicara banyak. Banyak bicara - yang tak terucap, tentang etika, kepantasan, kesederhanaan, dan keteladanan. Tapi lantang terdengar oleh nurani dan jiwa yang membuka diri.

Malu rasanya, Kami yang berperilaku bak bumi-langit dari Pope Francis. Kita justru mempertontonkan penyelewengan, manipulasi hukum dan konstitusi, memperturutkan hawa nafsu, flexing serta hedonis.

Dipenuhi kepentingan bahkan bertabur conflict of interest (CoI) pada setiap gerak laku hidup. 

Kategori :