JAKARTA, DISWAY.ID - Linangan air mata “Sang Anggrek Besi” memang tak banyak dan jarang terjadi. Kecuali kepada nasib dan derita rakyat yang ditindas penindasan, pasti matanya berkaca-kaca.
Empati nurani kepada rakyatnya begitu kuat dan besar. Mewujud dalam sorot mata tajam dan tegar melawan tiran.
Menggelegar suara pertanda perlawanan terhadap kekuasaan korup dan culas.
Namun mata keibuannya kemarin menemukan labuhan keteduhan, ketenangan dan keharuan yang tulus. Meluncur rasa bahagia dan lepas dari beban yang telah ditanggung lebih dari 57 tahun. Mungkin bagi Megawati Soekarno Putri "Sang Anggrek Besi” dan keluarga, tak perlu nama besar yang harus ditanggung sanak. Cukup pulihnya nama baik, bukan nama besar.
Sebab manusia menuliskan sendiri sejarah namanya. Entah kapan dan dimana. Entah mentereng atau sekedar figuran. Bahkan ada nama yang tak masuk dalam riwayat.Hanya masuk menjadi silsilah keturunan tok! Itupun putus pada buyut. Cangga wareng sudah melupakannya.
BACA JUGA:Pojokan 218: Pope Francis
Sama seperti nama besar, nama baik pun punya rumusnya sendiri. Dan semua orang berhak untuk mengejar, menyandang, memamerkan dan juga menggadaikannya. Dijual pada keserakahan. Ditutupi topeng palsu pencitraan. Mengejar sahwat hingga melorot etika.
Dan babad tentang nama tak selamanya “baik”. Ada juga yang diriwayatkan “buruk” atau “diburukkan” hikayat atau busuk bin rombeng karena laku lampah sendiri. Biasanya yang seperti ini -nama yang dicacatkan tarikh, didalangi penguasa tiran. Menutupi kemegahan nama itu. Ditutupi untuk disanderakan dalam kisah yang tertuduh.
Menjadi cap yang tak bisa dibersihkan. Jika bisa hingga akhir jagat. Untuk dilupakan dan dikutuk generasi penerus.
Masygulnya “Sang Anggrek Besi” bukan karena kembalinya kemegahan nama sang ayahanda. Sebab sang ayah mengajarkan pada kemegahan laku, kiprah dan perjuangan yang pamrih untuk kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Bukan pamrih kemegahan nama diri dan keluarga.
BACA JUGA:Pojokan 217: Monopsoni IP
Enas hati Sang Anggrek Besi, karena penantian 57 tahun pun berujung sudah. Pengharapan pada kembalinya nama baik sang ayahanda. Yang dikembalikan karena kejernihan, kebenaran nurani dan logika sejarah. Bagaimana mungkin, seorang proklamator kemerdekaan, dicap mengkhianati dan mengkudeta sendiri kemerdekaannya. Jelas tak mungkin. Hanya logika yang dibangun oleh penguasa tiran untuk mendiktekan tuduhan penghianat.
BACA JUGA:Pojokan 216: Pancong vs Corndog
Cukup pulihnya nama baik dari diburukkanya nama ayahanda sebagai pengkhianat dan pendukung pemberontakan G30S/PKI 1965. Diburukkan nama dalam sejarah dengan pelegalan -secara konstitusional, melalui TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967.
Senin 9 September 2024 lalu, TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 itu dicabut. Artinya tuduhan terhadap ayahandanya jelas salah dan tidak benar. “TAP MPRS No.XXXIII/1967 itu kesalahan”, begitu kata Fadel, wakil ketua MPR RI.