Sebagai negara tropis yang sinar mataharinya melimpah, Indonesia harusnya bisa lebih memanfaatkan tenaga surya.
Di Eropa saja yang hanya memiliki dua musim, tambah Firdaus, pemanfaatan energi surya sudah sangat masif.
"Di Eropa ya dan saya menyaksikan sekali pemanfaatan energi surya sangat masif sekali. Malah di tengah sawah saya lihat ada panel surya. Apalagi negara tropis seperti Indonesia, tentunya jumlah sinar mataharinya kan deras dibandingkan negara negara dua musim. Jadi sudah pasti pemanfaatan energi surya untuk pergantian energi fosil harus sangat signifikan," pungkasnya.
BACA JUGA:Pemprov DKI Lepas 1.046 Atlet Untuk PON XXI Aceh-Sumut 2024, Target Juara Umum!
BACA JUGA:Momentum HUT Ke-79 RI Dorong Pemprov DKI Terus Berinovasi, Jakarta Siap Jadi Kota MICE Global
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Mada Ayu Habsari menjelaskan, sejak 2018 hingga 2024, pelanggan PLTS meningkat 15 kali lipat.
Menurutnya, energi surya atau matahari memungkinkan masyarakat mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, serta menggerakkan aktivitas ekonomi.
Mada berharap, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menambah kuota PLTS Rooftop. Dengan catatan, pemerintah perlu melakukan penetrasi sistem energi, mulai dari skala kecil sampai grid scale.
Ini karena jika PLTS Rooftop semakin banyak, akan muncul tantangan lain, yakni stabilitas jaringan listrik (grid).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan, pembangkit listrik bersumber dari energi surya sebagai energi baru terbarukan menjadi pilihan, karena potensinya besar.
Bahkan, di Indonesia bisa mencapai 3.000-20.000 Gwp (Giga Watt Peak). Dia menambahkan, penggunaan energi listrik dari PLTS dapat mewujudkan pola konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption) dalam masyarakat.