"Pihak (kampus) menekankan agar mahasiswa ITB tidak berpikir seperti penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang menurutnya memiliki tingkatan lebih rendah," tambahnya.
Dengan begitu, Dirdik ITB menganggap bahwa kerja paruh waktu dinggap sebagai kontribusi, bukan eksploitasi, meski tidak akan diberi upah ataupun surat perjanjian kerja.
"Pihak pimpinan ITB menolak untuk memberikan surat perjanjian kerja karena merasa kebijakan timbal balik merupakan moral diri mahasiswa ITB yang telah dibantu oleh ITB," tandasnya.
BACA JUGA:Terbongkar Lokasi Persetubuhan Guru dan Murid di Gorontalo Direkam, Ternyata di Ruangan Sekolah!
BACA JUGA:Viral! ITB Wajibkan Mahasiswa Penerima Beasiswa UKT Kerja Paruh Waktu Tanpa Imbalan
Dirdik ITB pun membandingkan kebijakan ini dengan kebijakan yang telah diterapkan di negara lain, seperti National University of Singapore (NUS).
"Menurut (Dirdik ITB), di NUS keringanan UKT dianggap sebagai 'gift' atau hadiah, di mana mahasiswa diminta memberikan kontribusi sebagai bentuk kesetaraan."
Fidela pun menyoroti kebijakan di NUS yang mencakup biaya kuliah hingga tempat tinggal, sementara di ITB hanya menyesuaikan golongan UKT berdasarkan verifikasi ekonomi, yang sebenarnya adalah hak mahasiswa sesuai dengan Permendikbud No. 2 Tahun 2024.
Oleh karena itu, pihaknya menuntut agar ITB memberikan hak keringanan UKT kepada mahasiswa yang membutuhkan tanpa meminta imbalan.
Sedangkan untuk pekerjaan paruh waktu yang dilakukn mahasiswa kepada ITB harus bersifat sukarela, tanpa paksaan, dan tanpa konsekuensi terhadap hak pengurangan UKT.