Tak hanya itu, ketika beberapa ekor ayam dalam satu kandang jatuh sakit, semuanya akan diberikan antibiotik lagi.
"Dengan arti kata, siapa yang bisa menjamin, bahwa ayam yang kita konsumsi per hari, apalagi anak-anak sekarang sukanya makan ayam, akhirnya tertimbunlah residunya itu di dalam tubuh anak-anak kita," tuturnya.
Hal ini pun menjadi perhatian pihaknya untuk memperhatikan dan mengkaji daging-daging ayam yang ada di pasar harus mengandung batas minimal antibiotik.
"Data dari KemenkoPMK bahwa ketika ayam di Indonesia ini dicek, tingkat resistensi e.colli itu tertinggi sebesar 71 persen dibandingkan negara-negara pasifik lainnya, 47 persen. Dengan arti kata bahwa ayam-ayam yang kita makan tersebut sudah sangat resistensi terkait antimikroba."
Temuan antibiotik pada pangan tidak hanya ditemukan di daging ayam saja, tetapi bisa saja di ikan, daging sapi, daging babi, dan sebagainya.
BACA JUGA:11 Promo Pakai wondr by BNI 11.11 Bulan November 2024, Ada Tiket Bioskop hingga Makanan dan Minuman
BACA JUGA:17 Promo Makanan dan Minuman Spesial 11.11 Bulan November 2024, Jangan sampai Kehabisan!
Dengan keterhubungan antara sektor pertanian, perikanan, lingkungan, dan pangan terhadap sektor manusia ini menjadikan one health approach sebagai pendekatan kesehatan yang terintegrasi.
"Jadi tidak bisa melibatkan BPOM atau Kemenkes saja, tidak bisa hanya dengan Kementan saja, KLH juga, kementerian semuanya kita gandeng. Karena bukan hanya kepada obatnya saja, kepada ternaknya, tumbuhan, dan lain sebagainya, kita harus gerakkan semua kementerian ini untuk bisa bergerak," tuturnya.
"Faktor utama terjadinya resistensi itu adalah terkait penyalahgunaan daripada antimikroba pada manusia dan pada hewan. Itu yang paling tinggi. Kalau yang lain kontribusinya sangat sedikit, misalnya travelling ya, travelling juga bisa terjadi resistensi. Atau pada pengobatan massal, bisa juga."