Tafsir Iqra

Senin 18-11-2024,04:00 WIB
Oleh: Dahlan Iskan

SENJA sudah lewat ketika saya tiba di Hartford. Udara sudah turun lagi jadi empat derajat. Saya langsung ke rumah Daeng. Akan ada diskusi dengan mahasiswa asal Indonesia di rumah itu.

Istri Daeng ternyata sudah masak. Ikan bakar dan sambal terasi. Juga ada sambal pencit. Masih ada lagi: soto ayam. Bisa dimakan dengan nasi atau mie dan bihun.

Saya pilih soto dulu. Sedikit. Berkuah. Panas. Di udara dingin. Ternyata sedap. Saya tambah lagi. Sedikit. Sambil melirik ikan bakar. Itu untuk tambah yang kali ketiga.

Rumah kayu ini dua lantai. Tambah satu basement. Lantai pertamanya sejajar dengan jalan: untuk ruang tamu berseparo dengan dua meja belajar. Meja besar untuk Daeng. Sekalian meja kerja. Ada laptop terbuka di atasnya. Meja kecil untuk belajar anaknya: putri. Masih kecil. Mungkin kelas 1 SD.

Lalu ada ruang makan di sebelah ruang tamu. Dapurnya di belakang tempat makan itu.

Tidak ada sekat antara ruang tamu, ruang belajar dan ruang makan. Sofa diminggirkan. Bisa menampung 15 orang. Lesehan. Lantai kayu terasa hangat. Apalagi dilapisi karpet.

"Dari PTIQ," seorang mahasiswa membuka pintu, mengenalkan diri dan menyalami saya.

"Dari PTIQ," kata mahasiswa berikutnya.

"Dari PTIQ," giliran mahasiswi berjilbab mengenalkan diri.

"Dari PTIQ," kata jilbab lainnya.

Dan lainnya lagi.

"Dari teknik mesin ITB," giliran yang lebih senior mengenalkan diri.

"Dini," kata wanita langsing dengan rambut terurai.

"Dini ini profesor. Dosen di Yale University," ujar Daeng. "Dia datang dari New Haven. Setir mobil sendiri. Satu jam," kata Daeng lagi.

Setengah jam kemudian datang lagi dosen juga. Laki-laki. Juga mengajar di Yale. Dua dosen universitas papan atas Amerika ikut hadir. Seharusnya mereka saya catat satu per satu agar bisa disebut semua.


Ketika ngobrol bersama para mahasiswa PTIQ yang sedang belajar di Hartford University.--

Anda sudah tahu apa itu PTIQ –Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran. Di Jakarta selatan. Atau selatannya Jakarta. Saya belum pernah ke sana.

Saya tanya mereka dari jurusan apa saja. Jawab mereka sama: jurusan tafsir Quran.

"Sejak ada ilmu tafsir terjadilah kekacauan..," gurau saya menyambut para calon ahli tafsir itu.

Semuanya ikut tertawa. Salah satunya segera berubah wajah menjadi serius, lalu bertanya: kenapa begitu.

"Itu guyon," jawab saya. "Tapi boleh juga Anda dalami apakah benar di zaman Nabi Muhammad dan di zaman sahabatnya belum ada ilmu tafsir. Dengan demikian saat itu orang menjalankan agama bukan berdasarkan tafsir salah satu ahli agama. Yang lalu bingung ketika ahli lain menafsirkan ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda".

Maka diskusi pun berlangsung. Relevan dengan keilmuan mereka.

Daeng ikut bicara. Rumahnya sering untuk pertemuan warga Indonesia. Sering juga untuk diskusi para pemeluk agama yang berbeda. Kadang pertemuan didahului dengan doa secara Islam. Daeng yang berdoa. Kadang secara Kristen. Pernah juga doa dipimpin oleh yang beragama Yahudi.

Nama lengkap Daeng: Mohamad Saleh Mude. Tidak usah ditebak orang mana: pasti Makassar. Istrinya pandai bakar ikan tapi juga pandai bikin soto: pasti bukan Makassar. Dia campuran ibu Sunda ayah Tionghoa.

Daeng sudah empat atau lima tahun di Hartford University. S-2 nya sudah selesai, kini lagi di S-3.

Di HU memang ada kajian antar agama. Ada dua ahli Islam yang beragama Islam. Dari Pakistan (suni) dan dari Parsi (syiah). Masih banyak lagi ahli Islam yang bukan Islam.

Di samping kuliah, Daeng juga jadi aktivis. Di depan pintu rumahnya ada plakat Black Lives Matter. Ia juga yang berjuang agar HU mau bekerja sama dengan universitas di Indonesia.

Daeng pernah empat tahun jadi tim wapres Jusuf Kalla. Tugasnya notulen rapat di kantor maupun di rumah wakil presiden itu. Lalu pindah tugas sebagai anggota tim audit di PT Pupuk Kaltim.

Sebagai orangnya Pak JK, Daeng bersahabat dengan banyak tokoh. Termasuk Prof Nasaruddin Umar. Beliau adalah rektor PTIQ, Imam Besar Masjid Istiqlal dan kini menjabat menteri agama.


Bersama Daeng dan Nisa--

Prof Nasaruddin setuju PTIQ disambungkan ke Hartford U. Jadilah kerja sama itu. Tahun lalu PTIQ sudah mengirim sembilan mahasiswa S-2 ke Hartford U. Tahun ini 12 orang. Ada yang di S-3.

Mereka akan berada di Hartford U selama enam bulan. Di kajian antar agama. Biayanya dari LPDP. Berarti mereka akan sempat mengalami musim salju yang berat di negara bagian Connecticut.

Mahasiswa tinggal di asrama. Sebagai anak asrama, mereka rata-rata sama: segera tahu di mana ada makanan murah.

Di Hartford tidak hanya murah. Sebuah gereja membagikan bahan makanan gratis seminggu sekali. Atau dua minggu. Satu kantong besar. Isinya macam-macam: mulai ayam beku sampai makanan ringan. Berat isi kantong itu, menurut perkiraan Daeng, sampai 15 kg.

Sebelum ada mahasiswa Indonesia di situ daging yang dibagikan termasuk babi. Lalu sejak ada yang menolak ambil babinya, gereja itu tidak lagi membagikan daging babi.

Yang Islam pun tidak merasa risi ambil BLTT itu. Gereja tidak pernah bertanya dari negara mana mereka dan beragama apa. Siapa pun yang datang dilayani.

Mazmur juga ikut ambil BLTT.  Dia beragama Kristen. Asal Balige, lalu mendalami teologi di Yogyakarta, di Universitas Duta Wacana.

Saat pertama memperkenalkan diri bahwa namanyi Mazmur secara spontan saya bertanya: ayat berapa? Dengan spontan pula dia menjawab: pasal 23.

Anda sudah tahu apa bunyi kitab Injil surah Mazmur pasal 23.

Saya pun minta tolong Mazmur. Sebagai lulusan teologi dia tahu bahasa Yunani dan bahasa Hebrew. Saya penasaran dengan empat prasasti yang ada di gerbang perpustakaan utama Yale University di New Haven.

Lebih penasaran lagi karena foto prasasti itu dijepret oleh M Solahudin salah satu mahasiswa PTIQ yang ke rumah Daeng itu.

Rupanya di hari libur Solehudin pergi ke Yale. Ke perpustakaannya. Ia begitu jeli: ia melihat prasasti kuno di gerbang atasnya.

Saat saya ke Yale tidak sejeli itu. Lalu Solahudin memotretnya. Saya pun minta foto empat prasasti itu.


Prasasti Iqra di Yale University.--

Apa arti prasasti kesatu, saya tidak perlu minta tolong Mazmur. Itulah prasasti yang paling membuat Solahudin penasaran: prasastinya berhuruf Arab.

Solahudin mengamatinya: kalimat-kalimat bagian atas prasasti itu ternyata surah Iqra dalam Alquran. Di bawah Iqra itu ternyata ayat Kursiy.

Solahudin penasaran mengapa gerbang perpustakaan Yale memasang ayat Kursiy. Lalu menunjukkan foto itu ke saya.

Mazmur pun mengirim apa arti prasasti yang dalam bahasa Yunani dan bahasa Ibrani. Ukuran prasastinya sama dengan yang ayat Kursiy. Semua tentang ilmu pengetahuan.

Banyak hal kami diskusikan malam itu. Tak terasa sudah pukul 22.00 lebih. Prof Dini masih harus pulang ke New Haven. Saya belum istirahat sejak pukul 4 pagi. Besoknya sudah harus ke Midtown: ada pusat studi gamelan di Wesleyan University. Lalu ke bandara untuk terbang ke Chicago.( Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan  Dahlan Iskan di  Disway Edisi 17 November 2024: Medali Debat

Wilwa

Belakangan muncul berita: Middle Class atau kelas menengah Indonesia menyusut! Sebuah isu atau fakta yang menarik untuk “digoreng”. Tanpa menyadari bahwa itulah akibat kapitalisme merajalela tanpa dibatasi government. Yang berlaku adalah hukum rimba. Yang kuat dan besar modalnya, yang akan muncul sebagai pemenang dan menggilas yang lebih kecil dan lebih lemah. USA juga begitu kok. Perusuh seperti Koh Liam Then paling gacor soal kemiskinan di USA. Lha memang USA ideologi ekonominya kapitalis kok. Jadi jangan heran kalau yang kaya bisa kaya sekaya-kayanya. Amati saja siapa mayoritas 100 orang terkaya di dunia? Pastilah American! Demokrat yang membela kelas menengah / pekerja pun tak mau disebut sosialis! Nancy Pelosi bikin bengong mahasiswa yang menyerukan paham sosialis di Amerika sono. Nancy dengan jelas berkata: negara kita bukan negara sosialis tapi kapitalis! Mungkin hanya Labor Party di UK atau Australia yang berani declare: we are socialist! Partai Demokrat malu-malu kucing menyebut diri sosialis. Tapi menjalankan Obama Care (BPJS Kesehatan ala Amerika). Yang jelas kelas menengah USA juga jauh menurun kalau mau dibandingkan persentase kelas menengah USA pasca perang dunia kedua. Dan itu adalah risiko menganut paham kapitalisme tanpa batas! Kapitalisme yang tidak diimbangi sosialisme. Growth ekonomi yang tidak diimbangi pemerataan ekonomi. 

Jo Neca

Saya rasa "baku dapa" bisa di.masukan di dalam khasanah Bindo baku.Sebab baku dapa lebih spesisik dari bertemu ataupun bertemu muka.Baku dapa itu bertemu muka sambil membawa rasa.Bertemu berjabatan tangan .Berpelukan.Bisa beciuman.Begitu kira kira

Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺

@Fa Za.. SEORANG POLYGLOT MUDA INDONESIA, BERUSIA 24 TAHUN: HEBAT DIA..!! Nama pop nya: Fiki Naki, seorang YouTuber asal Pekanbaru, berusia 24 tahun, menguasai berbagai bahasa, termasuk Inggris, Rusia, Rumania, Spanyol, Turki, Perancis (sedikit), Jerman (sedikit) dan beberapa lainnya. Ia belajar secara otodidak dengan memanfaatkan platform seperti YouTube dan Ome TV untuk mempraktikkan kemampuannya berbahasa, dengan penutur asli. Popularitasnya meledak sejak 2020 berkat video ngeprank menggunakan berbagai bahasa, yang sering kali mengejutkan lawan bicaranya. Fiki juga dikenal karena interaksi dengan pacar internasionalnya, termasuk Dayana (Kazakhstan) dan Tugba Dursun (Turki). Hingga 2024, ia memiliki 6,53 juta subscriber YouTube, dengan pendapatan dari adsense diperkirakan ratusan juta hingga miliaran per bulannya. ### Pada usia 24 tahun, hanya dari adsen di Youtube, Fiki sempat pernah tour keliling Eropa, sendiri. Saat masih berpacaran dengan Tugba Dursun, dia lebih dari 5 kali bolak balik Jakarta Turki. Suatu saat, saya sempqt pernah ketemu dia di masjid di rest area km 102 tol Cipali. Anaknya simpatik, dan santun. (Masih muda, duitnya banyak. Berkat kepintaran "memanfaatkan" polyglot nya)..

Udin Salemo

Ya, Tuhan. Kampus yang begitu terkenal hanya punya 12 ribu mahasiswa. Satu orang doktor hanya membimbing dua mahasiswa. Perbandingan doktor (doktor beneran, bukan doktor lulusan tiga semester) dan mahasiswa 1:2. Wooowww...sugoooiii. Selayaknyalah lulusan dari kampus itu berkualitas. Sementara di Malang sana ada kampus yang punya 100 ribu mahasiswa. Wooowww pasti gede cuannya, wkwkwkwk...

Ahmed Nurjubaedi

Menjawab Bung Liam Then, Semua anak mesti kita ajari STEM. Tapi kita harus menetapkan standar minimal yg layak sekaligus bisa dicapai bahkan oleh siswa yang tidak berbakat di pelajaran STEM. Ini yang harus kita teliti. Bisa juga benchmarking di sekolah-sekolah Malaysia misalnya. Lalu anak-anak harus kita tes minat bakatnya dengan test psikologi berbasis Multiple Intelligence. Test ini dilakukan minimal saat anak masuk kelas 1 SD, naik kelas 3 SD, masuk kelas 7, masuk kelas 10, masuk kelas 11, dan masuk kelas 12. Karena kecerdasan anak-anak itu tumbuh, maka diperlukan pengulangan tes psikologi berbasis Multiple Intelligence ini. Dari proses tes ini saja, bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan orang tua. Bahkan tidak semua sekolah elit melakukan hal ini, karena visi yg berbeda. Berdasarkan hasil tes yg dinamis ini, guru, sekolah, dan orang tua bisa bekerja sama menyediakan materi, kegiatan, dan lingkungan belajar yg cocok untuk siswa. Di beberapa sekolah yang saya tahu menerapkan pendekatan ini, para siswa begitu menikmati proses belajarnya sekaligus berprestasi sesuai dengan minat bakatnya. Baik di level lokal, nasional, maupun internasional. Yang belum berprestasi pun tidak minder karena bisa berkarya sesuai minat bakatnya. Dan pihak sekolah, guru, orang tua juga selalu mengapresiasi apapun pencapaian mereka. Saya yakin teman-teman perusuh juga banyak punya contoh dan referensi, Bung Lian Then. ????????

Liam Then

Orang Afrika saya kira sangat istimewa, saya lihat mereka dalam berbahasa asing sungguh luar biasa, dibanding ras kaukasian atau ras coklat, kuning. Mereka kayaknya punya anugrah fisik sempurna, lihatlah olahraga, dimana mereka punya kesempatan masuk, disitu mereka berjaya, mulai dari basket, atletik, F1, tennis ,tinju, sampai golf. Ras kulit hitam hanya tak beruntung angin sejarah tak bertiup kearah mereka. Padahal mereka secara fisik, menurut ilmu genetika, boleh dibilang Alpha, yang pertama, atau yang asli sebenarnya-benarnya. 

Liam Then

Orang yang mau belajar bahasa asing tapi tak punya bakat dalam bahasa , mungkin perlu melintir sedikit pelajari tentang cara kerja sel otak atau neuron. Otak bisa dilatih, organ otak kita selalu ada dalam kondisi baru, karena dispekulasi oleh para ahli, 1000-10rb koneksi neuron baru tercipta setiap detik pada otak manusia. Neuron Synapse atau koneksi neuron kayaknya adalah biangnya aktifitas otak ,karena mereka yang proses arus informasi diotak. Tapi yang paling mengagumkan adalah ini , cobalah anda baca : "The human brain makes more than one million new neural connections, or synapses, every second in the first few years of life. This is the fastest rate of brain development, and it's crucial for a child's ability to learn and develop" Maka dari itu selalu terbaca, masa-masa awal anak-anak adalah masa terbaik untuk belajar bahasa. Lihat saja koneksi neuron yang tercipta setiap detik pada usia belia. Memang manusia terlahir dengan bakat masing-masing, tapi layaknya pisau jika tidak diasah, manalah mungkin bakal tajam sendiri. Buat kita yang dewasa, mau belajar bahasa baru, bukannya tak mungkin, bisa saja, contohnya Pak Bos, cuma memang dompet harus tebal, karena harus pakai "hard mode" , juga harus punya kemauan keras, untuk fokuskan synapse diotak, untuk beberapa waktu konstan terbentuk terus-menerus sebagai jalur khusus untuk proses informasi tentang bahasa baru yang ingin kita pelajari.

Wilwa

George Michael adalah penyanyi dan pencipta lagu asal UK yang populer era 1980-an. Salah satu lagunya yang paling berkesan bagi saya pribadi adalah Hand To Mouth (1987) yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya Hidup Senin Kamis. Alias Hidup Pas-pasan. Lagu ini menggambarkan kehidupan mayoritas rakyat USA yang konon makmur sejahtera itu. Amati saja liriknya. Terutama refrainnya. I believe in the gods of America. I believe in the Land of the Free. But no one told me that the gods believe in nothing. So with empty hands I pray. And from day to hopeless day. They still don’t see me. Sungguh mengena. Itulah yang dirasakan kelas menengah bawah hingga kelas miskin di Amerika yang kini menjadi mayoritas di sana. 

Ahmed Nurjubaedi

Pak Dahlan menyinggung pendidikan lagi. Entah sudah berapa dekade, masyarakat mendengar dan menyuarakan ini: ganti menteri (Pendidikan) ganti kurikulum. Seolah-olah masalah yg dihadapi dunia pendidikan kita adalah kurikulum. Sebenarnya, masalah utamanya ya kualitas guru. Tahun berapa itu, Kemendikbud sudah pernah menggelar uji kompetensi guru. Hasilnya, lebih dari 70% guru kita masuk kategori kompetensinya kurang (baca: kualitasnya belum layak mengajar). Baik dari sisi penguasaan materi maupun kemampuan pedagogi. Hasil PPG juga mesti dipertanyakan kualitasnya. Coba saja kita tiru Malaysia atau Singapura. Mulailah dari pabrik guru. Tunjuk saja hanya kampus yg benar-benar berkualitas yg boleh menyelenggarakan pendidikan untuk calon guru (IKIP). Yang kalau di Singapura hanya National Institute of Education. Lakukan seleksi komprehensif untuk calon mahasiswa, termasuk wawancara. Hanya yg memiliki niat kuat dan nilai akademik bagus yg diterima. Lalu, naikkan gaji guru dengan signifikan. Minimal 20 jt/ bulan. Ini akan menarik mahasiswa pintar yg niat menjadi guru. Menurut Gita Wiryawan, pemerintah sebenarnya mampu dengan postur APBN yg dimiliki. Bahkan masih banyak sisanya. Kualitas dosen juga wajib ditingkatkan. Maka, kualitas guru kita akan naik signifikan. Apapun kurikulumnya. Apapun pendekatan, metode, atau strategi mengajarnya. Tidak akan menjadi masalah. Contohnya ya di sekolah2 elit itu. Carilah guru jelek di sana. Lalu carilah guru bagus di sekolah yg "lain".

Juve Zhang

Tesla dari awal dibuat sampai sekarang model begitu saja.....mirip anda beli Colt L300 bertahun tahun begitu kotak....Tesla miskin inovasi....datang Piyati....model beragam.... nyaman dipake....ramah di dompet.....maka Tesla pun nampak seperti mobil kuno yg tak pernah ganti baju.... akhirnya kalah dalam persaingan global....wkwkkw

Lagarenze 1301

Baku dapa deng ngana, baku ambe, baku ator, baku sedu, baku sayang....

Achmad Faisol

@koh liam, coba googling tentang gus baha dan gus kautsar... itu murni dari pesantren, tanpa sekolah formal... buktinya, jadi... kalau orang tua tahu minat dan bakat anak, ya orang tua yang mengarahkan... masalahnya banyak sekali orang tua yang ga tahu bahkan ga mau tahu... akhirnya dipasrahkan ke sekolah... sekolah memberi materi ya sesuai kurikulum... sebenarnya kalau ngajarnya asyik, mata pelajaran apa pun mudah... saya bagus di matematika saat gurunya enak, saat ga enak ya nilai saya turun... masalahnya lagi saat ini tugas guru juga bejibun... menteri baru bilang akan mengurangi tugas administratif guru... semoga guru bisa lebih banyak menerangkan, bukan tugas dan pr...

Kategori :

Terkait

Senin 18-11-2024,04:00 WIB

Tafsir Iqra

Minggu 17-11-2024,04:00 WIB

Medali Debat