JAKARTA, DISWAY.ID - Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di level 6 persen.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), yang digelar pada 19-20 November 2024.
Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo, keputusan diambil untuk memastikan bahwa tingkat inflasi akan tetap terkendali dan masih berada pada sasaran 2,5 persen pada 2024 dan 2025, dan masih sesuai dengan arah kebijakan moneter.
“Kebijakan moneter diarahkan agar berfokus terhadap penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah, serta dampak ketidakpastian perekonomian global,” ujar Perry dalam keterangan resminya pada Rabu 20 November 2024.
Sementara itu menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta, Achmad Nur Hidayat, keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga berada dalam koridor yang logis mengingat risiko ketidakpastian ekonomi global.
“Tingginya suku bunga acuan Federal Reserve Amerika Serikat (AS) meski sudah diturunakan 25 basis poin pada 3 pekan lalu, tekanan geopolitik dari perang Ukraina-Rusia, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok memberikan tantangan signifikan bagi stabilitas nilai tukar Rupiah,” ujar Achmad saat dihubungi oleh Disway pada Kamis 21 November 2024.
Menurut Achmad, kebijakan BI yang berfokus pada penguatan instrumen moneter pro-market seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan intervensi pasar valas menciptakan perlindungan bagi Rupiah dari volatilitas berlebihan.
BACA JUGA:Pemerintah Akan Godok Peraturan Tax Amnesty Jilid III, Ekonom Berikan Kritik Keras
Selain itu, langkah mempertahankan suku bunga juga sejalan dengan kebutuhan menjaga daya tarik aset keuangan domestik bagi investor asing.
“Dengan mempertahankan suku bunga, aliran modal asing dapat terus masuk ke pasar keuangan Indonesia, membantu memperkuat cadangan devisa dan stabilitas makro ekonomi secara keseluruhan,” tutur Achmad.
Kendati begitu, Achmad juga menambahkan di balik stabilitas ini, konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menunjukkan tanda-tanda melemah.
Hal ini diperburuk oleh penurunan daya beli kelas menengah akibat inflasi di sektor tertentu, seperti pangan dan transportasi.