KAPITALISME modern tidak hanya soal perputaran modal, perdagangan dan pasar bebas, tetapi cuan juga bisa diproduksi dari media sosial dengan memobilisasi masa, pendapat ini jauh hari disampaikan oleh Walter Benjamin, dalam salah satu karyanya Profanations, Zone Books; 2007, ketika fenomena awal media sosial ditemukan.
Selanjutnya menurut Walter, kapitalisme jenis baru ini menjadikan manusia terhipnotis oleh suatu kondisi sehingga ia mempengaruhi alam bawa sadarnya. Terlebih jika obyek yang diperalat itu soal kesewenangan orang kuat pada yang lemah.
Dalam kondisi seperti itu, kapitalisme model baru ini akan memisahkan hampir segala hal. Memisahkan realitas ke absurditas, memisahkan humanisme ke dehumanisme, memisahkan penghayatan yang kontemplatif ke kekerasan yang menindas, bahkan fenomena ini membuat kebenaran dengan versi baru, dan orang tak bisa lagi membedakan mana realitas sesungguhnya dan kritis. Begitu ada peluang untuk menghujat, ia tak bisa berhenti untuk menghujat, kendati sumber masalahnya sebenarnya sudah terselesaikan.
BACA JUGA:Ini Alasan Presiden Tidak Perlu Menerima Mundurnya Gus Miftah
Mungkin gambaran di atas bisa disematkan pada kasus keselio lidahnya Gus Miftah pada penjual es, Pak Sonhaji. Kendati pelaku sudah minta maaf dan korban sudah memaafkan, tapi haters dari nitizen masih dimanfaatkan tangann gelap kapitalisme. Maka dari sudut pandang ini, Gus Miftah hanya korban para konten kreator yang mencari cuan dari keseleo lidah bercandanya yang model tablig jalanan
Selain itu, juga korban orang-orang yang pansos dan kemungkinan besar korban dan orang yang sedang cari simpati dengan berdonasi dan lainnya, semakin viral semakin sexy dan menguntungkan bagi mereka, netizen hanya kebawa suasana atas keberhasilan para konten creator atau pansos mendramatisir keadaan.
Kenapa dari sudut pandang ini penting menjadi catatan? Sebab di luar sana, faktanya banyak orang yang nasibnya lebih memprihatinkan dan susah dari Pak Sonhaji dan itu tidak tersentuh, serta terperhatikan, masalahnya meeka tahu karena tidak akan viral dan menguntungkan. Selain daripada itu, nyatanya dan banyak tokoh agama yang juga menggunakan kata "goblok" bahkan lebih sadis tapi tak menjadi soal.
Mungkin satu-satunya yang membedakan adalah saat itu Gus Miftah menjadi pejabat publik dan Pipres baru saja selesai, dan Gus Miftah berada di kubu yang menang. Tapi bagaimanapun masalah harus ditempatkan secara adil. Selain keikutsertaan para kapitalis jenis baru ini, dalam pemaknaan dan diksi kata "goblok." Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai sifat bodoh atau tuli. Dengan begitu, diksi goblok bisa ditarik ke dalam ilmu psikologi, sebagai tekanan verbal (Nevid, 2021).
Masalahnya, apa benar kata goblok selalu berkonotasi negatif? Jawabannya bisa inklusif dan relatif. Misalnya, kebodohan dalam tradisi Timur dianggap wacana yang telah berumur ribuan tahun. Kebodohan alias Avidya dianggap sebagai sarana bagi Brahman untuk menciptakan penampakan dunia.
Madhusudana dan Advaita sepakat bahwa kebodohan itu tidak bermula, bersifat positif, dan pengetahuan yang tak dapat dihapus. Kebodohan apapun, termasuk kebodohan terhadap tali yang jelas-jelas memiliki permulaan dalam waktu, tidaklah memiliki permulaan. Sebaliknya, kebodohan merupakan asal-usul material dunia fana ini (McGreal, 2024).
BACA JUGA:Wakil Ketua MUI Minta Polemik Gus Miftah Disudahi, Jadikan Bahan Pembelajaran
Pengertian kebodohan mengalami pergeseran seiring perkembangan zaman. Zaman klasik telah digantikan zaman modern yang konon lebih kritis. Ketika cara pandang dunia didominasi oleh rasionalisme, kebodohan pun diartikan sebagai non-rasional. Setiap orang yang tidak rasional, tidak memiliki wawasan dan pengetahuan, maka ia menyedihkan.
Pergeseran psikologis semacam ini telah dikaji secara kritis ole Michel Foucault (1961) dalam bukunya Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. Foucault menemukan bahwa evolusi makna kegilaan telah berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut Foucault, pada masa klasik, orang gila adalah mereka yang antisosial, seperti pelacur, gelandangan, penghujat, dan lain-lain. Di abad pertengahan, orang gila bukan lagi antisosial melainkan para penderita penyakit kusta.
Pada era Pencerahan, orang gila bukan lagi yang antisosial dan penderita kusta melainkan mereka yang memiliki kebijaksanaan untuk mengungkapkan perbedaan. Dan pada zaman modern, orang gila adalah orang yang terkena penyakit mental.