Masing-masing pihak memikul darmanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada dharma yang “mangrwa”, mendua. Berjalan di jalur masing-masing.
Darma dalam pemikiran Mpu Tantular ibarat jalan raya. Para pejalan kaki, pengendara becak, motor, mobil, bus dan truk boleh berjalan di jalan yang sama. Mereka tidak harus saling menabrak satu sama lain. Namun demikian, tabrakan di jalan raya adalah sesuatu yang sering terjadi. Dari sanalah muncul konsep-konsep yang sengaja dipolitisir; pribumi versus non-pribumi.
BACA JUGA:Prabowo Minta Menterinya Rapatkan Barisan, Istana Bantah Ada Kerenggangan di Kabinet Merah Putih
Tabrakan di jalan raya, atau konflik dalam dharma, perlu diminimalisir. Setiap pengendara atau pelaku dharma harus mematuhi semua peraturan dan rambu-rambu lalu lintas saat berkendara.
Setiap individu atau kelompok harus memiliki kesadaran tinggi tentang berhati-hati untuk tidak mencelakakan orang dan kelompok lain. Satu kesalahan kecil individu dapat memakan korban dan membunuh nyawa orang lain secara kolektif.
Program Kebhinnekaan dan Radikalisme Identitas
Selain kesadaran individual-personal, peran negara dan pemerintah semakin urgen dan signifikan. Pemerintah diharapkan turun tangan langsung, mengkampanyekan nilai-nilai kebhinnekaan, dan mendukung keragaman manifestasi dharma.
Masyarakat membutuhkan program-program nyata pemerintah, sehingga mereka tahu bagaimana bersikap dan bertindak untuk memperkuat persatuan dalam keragaman.
Bangsa ini sedang menderita krisis identitas, yang berujung pada radikalisme. Salah satunya terlihat dari cara mengartikan kata “pribumi”. Pendekatan dalam memahami kata “pribumi” condong pada cara pandang yang radikal.
BACA JUGA:Paus Fransiskus Wafat, Menag Ungkap Dukacita Mendalam
Pribumi diartikan sebagai kata dan konsep untuk menyerang kelompok lain yang berbda dan dilabeli sebagai non-pribumi.
Konsep pribumi sendiri condong absurd. Manusia yang menghuni Nusantara sejak awal adalah Homo Erectus, yang bermigrasi dari Afrika. Agama yang dianut manusia Nusantara juga barang luar, seperti Hindu-Buddha hingga Kristen dan Islam.
Bahasa dan budaya juga berkembang mulai dari Sansekerta, Melayu, hingga Indonesia, serta banyak menggunakan kata serapan dari negara-negara Timur Tengah maupun Eropa.
Konfrontasi antara Ba'alawi, PWI-LS, dan terseretnya Alkhairaat menandakan adanya pergeseran radikalisme, yang semula mengusung semangat agama menjadi radikalisme identitas.
Pergeseran ke identitas disertai kekerasan fisik, pelaporan tindakan pidana kepada kepolisian, dan tuduhan pencemaran nama baik.
Terminologi pribumi versus nonpribumi diartikan dengan cara radikal, yang hampir sama dengan pengertian muslim dan kafir.