JAKARTA, DISWAY.ID - Rencana efisiensi anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) kini sontak menjadi bahan pembicaraan banyak pihak.
Pasalnya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025, yang mengatur Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026 tersebut menyebutkan bahwa konsumsi rapat untuk pejabat setingkat menteri, wakil menteri, dan eselon I maksimal ditetapkan sebesar Rp 171.000 per orang.
BACA JUGA:Biar Makan Daging Kurban Gak Bikin Tensi Naik, Pastikan Konsumsi Makanan Ini
BACA JUGA:Alasan Sebenarnya Menkeu Sri Mulyani Batalkan Diskon Tarif Listrik 50 Persen
Sontak, angka ini memantik reaksi publik di tengah situasi ekonomi yang masih pincang akibat dampak pandemi, inflasi pangan, serta ketidakpastian fiskal jangka menengah. Terlebih lagi, sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan bahwa tingkat deflasi Indonesia kini sudah mencapai angka 0,37 persen pada periode Mei 2025 ini.
Selain itu menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kebijakan ini menghadirkan kesan bahwa efisiensi negara hanya berlaku kepada masyarakat.
"Pemerintah berdalih bahwa angka tersebut hanyalah batas maksimal. Namun dalam praktiknya, standar biaya acap kali berubah menjadi standar pengeluaran. Batas atas seringkali ditafsirkan sebagai target belanja, bukan rambu pengaman. Ini bukan hanya soal nominal, tapi soal paradigma pengelolaan keuangan publik," pungkas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Kamis 5 Juni 2025.
Melanjutkan, Achmad juga menambahkan bahwa kebijakan uang konsumsi rapat Rp171 ribu menjadi problematik bukan karena nilainya semata, tapi karena jumlah tersebut mencerminkan disonansi moral dalam manajemen anggaran.
BACA JUGA:Sri Mulyani Pastikan Defisit APBN Tidak Jebol: Jangan Khawatir
BACA JUGA:Prabowo Panggil Sri Mulyani hingga Airlangga Hartanto untuk Bahas APBN 2026
Menurutnya, krtik terhadap kebijakan ini harus dimaknai bukan sebagai penolakan terhadap kebutuhan birokrasi, tetapi sebagai seruan untuk membangun negara yang lebih berpihak.
"Langkah terbaik yang bisa diambil pemerintah adalah melakukan evaluasi terhadap semua standar biaya yang menyangkut konsumsi, perjalanan, dan fasilitas bagi pejabat negara. Evaluasi ini harus berbasis partisipasi publik dan dijalankan dengan prinsip keterbukaan informasi. Sebab, dalam negara demokrasi, rakyat berhak tahu bagaimana uang mereka digunakan," ujar Achmad.
"Jika negara ingin disebut efisien dan adil, maka indikatornya bukan seberapa rapi aturan disusun, melainkan seberapa besar manfaat yang dirasakan mereka yang berada di bawah," tambahnya.