Ketika Media Menggugat Dirinya Sendiri, Dahlan Iskan adalah Jawa Pos (2 End)

Kamis 17-07-2025,23:14 WIB
Oleh: Reza Permana

Kita semua tahu, media dibangun bukan hanya oleh angka dan laporan keuangan. Tapi oleh semangat. Oleh perjuangan. Oleh cerita panjang yang ditulis oleh banyak orang, dari banyak generasi.

Menyeret satu bab dari cerita itu ke jalur hukum, tanpa upaya mediasi yang terbuka, adalah risiko besar. Karena yang terguncang bukan hanya sosok. Tapi institusi. Reputasi. Kredibilitas yang dibangun bertahun-tahun.

Dalam dunia media, citra bukanlah milik satu orang. Tapi milik semua yang pernah menulis, menyunting, dan membaca. Maka, ketika lembaga memutus silaturahmi dengan sejarahnya sendiri, yang rusak bukan hanya satu nama—tapi seluruh ekosistem nilai di dalamnya.

BACA JUGA:Connie Francis, Pelantun 'Pretty Little Baby' yang Viral Meninggal Dunia di Usia 87 Tahun

BACA JUGA:Jaga Ketahanan Nasional, Kadin Indonesia Siap Gelar Retret Agustus Mendatang

Masih ada banyak jalan yang lebih arif. Mediasi. Audit independen. Forum etik. Ruang dialog terbuka bersama tokoh-tokoh pers. Semua itu lebih baik daripada membawa persoalan ke ranah yang bisa mencederai rasa hormat.

Dalam budaya kita, menghormati yang berjasa adalah bagian dari etika dasar. Bukan untuk mengkultuskan. Tapi untuk menjaga warisan bersama. Karena menghargai masa lalu adalah cara terbaik untuk membangun masa depan.

Jangan sampai media, yang seharusnya menjadi penjernih suasana, justru menambah kabut karena gagal merawat keluarganya sendiri.

Pers itu kuat ketika jujur. Tapi juga luhur ketika tahu cara menjaga martabatnya.

Dan kalau media mulai melupakan nilai-nilai itu, siapa lagi yang akan jadi panutan?

 

By: Dr. Tantan Hermansah - Ketua Program Magister Komunikasi & Penyiaran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Kategori :